Sabtu, 11 Desember 2010

PINDAH @Raditya Dika


Pindah



Satu jam setelah putus cinta, gue dapet kabar kami sekeluarga akan pindah rumah. Waktu itu gue baru saja sampai rumah, pulang dari sebuah café, di mana di sana gue abis diputusin oleh pacar gue selama tujuh bulan. Setelah menaruh kunci mobil dan duduk menghela napas di ruang makan, nyokap keluar dari kamar tidurnya. Dia menghampiri gue dengan mata berbinar-binar, berbeda dengan mata gue yang sendu dan redup, mata orang yang baru mendengar kata-kata “kayaknya kita emang gak cocok”.
Ada bahasa tubuh khas nyokap ketika dia sedang ingin mengucapkan kabar gembira: jalannya agak loncat-loncat kecil, poninya sedikit terkibas-kibas, dan alisnya naik turun. Nyokap terlihat seperti Dora The Explorer kebelet gaul. Dia lalu membuka mulutnya, setengah berteriak, ‘Kita pindah rumah bulan depan! Yaay!’
‘Pindah… apa yang pindah?’ tanya gue.
‘Iya, Dika,’ kata Nyokap sambil menepuk pelan pundak gue.‘Kita bakalan pindah rumah!’
‘Oh… Ya udah.’
‘Kok “oh ya udah”? Kamu dengerin apa kata mama gak sih, Dika? Kita pindah bulan depan!’
Jelas, dia tidak tahu apa yang sedang gue pikirkan di kepala gue.
‘Oh, iya. Asik. Pindah,’ jawab gue, datar.
‘Hidih. Kamu gak bisa diajak bicara nih,’ kata nyokap gue, sewot.
Sejujurnya, gue sedang tidak bisa diajak bicara, karena, well, gue baru aja putus. Satu-satunya ajakan Nyokap yang bisa gue turutin mungkin nonton Titanic bareng sambil ngabisin tissue pas adegan Leonardo di Caprio bilang ke Kate Winslet, ‘You jump, I jump’, dan saat nonton adegan itu, mungkin gue bakal menjerit, ‘Kenapa kamu gak jump juga kayak Leonardo, sayang? Kenapa kamu malah jump sendirian?’
‘Dika! Kamu dengerin mama gak sih?!’ tanya nyokap, membuyarkan lamunan gue yang kalau diteruskan mungkin akan semakin kebanci-bancian. ‘Muka kamu kok kusut banget, kamu abis darimana sih?’
Gue memilih untuk tidak menjawab.
‘Kok kamu diem aja, mata kamu kosong. Mata kamu kosong, Dika! Kamu mabuk ya? Abis party ya?!’
Nyokap memang orangtua yang curigaan.
‘Aku abis putus, Ma,’ kata gue, pelan.
‘Sama si anu?’ tanya nyokap, tidak menyebutkan namanya. ‘Si anu itu, Dik?’
‘Iya, si anu.’
‘Ya ampun, kamu putus sama si anu?!’ Kalau ada orang yang gak ngerti apa-apa mendengarkan pembicaraan kita berdua ini mungkin dia mengira gue habis diputuskan oleh alat kelamin seseorang.
Gue mengangguk.
‘Lah kenapa kamu bisa putus sama dia, Dik? Anaknya kan baik?’ tanya nyokap.
Gue menjawab dengan jawaban yang paling jujur, ‘Yah, karena gak cocok.’
‘Udah gitu doang?’
‘Udah gitu doang.’
Nyokap mungkin membutuhkan jawaban dramatis lain seperti di tayangan reality show yang sering dia tonton: ‘Aku putus, Ma. Dia tahu aku simpenan janda.’
‘Pasti kamu yang salah,’ kata nyokap.
‘Mungkin,’ jawab gue. ‘Mungkin juga dia yang salah. Atau kita yang sama-sama salah.’
Di tengah-tengah pembicaraan kita, Bokap gue masuk dari garasi. Dia terlihat seperti orang yang baru pulang dari kerja, dengan kemeja yang sudah tidak dikancingkan, sehingga kaus oblongnya yang putih terlihat secara jelas. Dia menggarukkepalanya, ‘Ada apa, Ma?’
‘Ini, si Dika,’ kata nyokap. ‘Dia putus lagi.’
‘Hah? Lagi? Makanya, Papa sudah bilang sama kau,’ kata bokap, selalu dengan aksen Bataknya. ‘Pasti kamu yang bikin salah lagi.’
‘Salah gimana?’ tanya gue.
Bokap melanjutkan, ‘Kan sudah papa berulangkali kasih tahu, kalau kau sayang sama orang kau tunjukkan. Papa rasa kau itu kurang sayang sama pacar-pacar kau. Nih, Papa kasih tahu ya. Kalau dia pergi sama kamu, kamu yang bukain pintu dong. Kalo kamu lagi nyetir, terus dia bersin, kamu panasin AC-nya. Kalau dia bawaannya banyak, kamu bawain bawaannya.’ Sampai sejauh ini gue berpikir, sepertinya bokap gue agak ketuker antara supir dengan pacar.
Gue diem aja.
Bokap melanjutkan, ‘Udah, kamu cuci muka, mandi sana. Jangan kau sedih-sedih lah. Masih banyak ikan di laut. Hahaha!’
‘Kita pindah rumah bulan depan lho,’ kata nyokap, ‘Jangan lupa. Kamu kan sibuk, biar gak ribet kamu beres-beres mulai sekarang ya.’
Gue lalu melirik ke arah nyokap, lalu menanyakan pertanyaan yang seharusnya gue tanyakan dari awal, ‘Tapi kenapa harus pindah sih emangnya? Bukannya rumah ini baik-baik aja?’
‘Dika, Dika, Dika,’ kata Nyokap. Dia menggelengkan kepalanya. ‘Rumah ini udah terlalu sempit buat kita, Dika. Adik-adik kamu udah pada gede semuanya, mama ngerasa keluarga kita udah jadi terlalu besar untuk rumah ini. Kita tumbuh lebih besar daripada rumah ini. Jadi kita harus pindah.’
Bokap dan Nyokap berbarengan masuk kamar, meninggalkan gue sendirian. Tidak lama, gue berdiri, berjalan ke arah dapur dan mencuci gelas bekas hot chocolate yang barusan gue minum.
Mungkin itu masalahnya, pikir gue. Seperti rumah ini yang jadi terlalu sempit buat keluarga ini, gue juga menjadi terlalu sempit buat dia. Dan ketika sesuatu sudah mulai sempit dan tidak nyaman, saat itulah seseorang harus pindah ke tempat yang lebih luas dan cocok untuk dirinya. Rumah ini tidak salah,kita tidak salah. Yang salah adalah kalau dua hal tersebut tetap bersama-sama.
Sama seperti gue dan dia.
Dan dia, memutuskan untuk pindah.
*
Seminggu setelah Nyokap memberitahu kita bakalan pindah rumah, hidup gue diisi dengan memasukkan barang-barang di kamar ke dalam boks-boks. Di film-film digambarkan ketika kita akan meninggalkan dunia ini maka kenangan-kenangan hidup kita akan muncul bergantian secara kronologis, dari yang baru terjadi hingga ingatan yang paling jauh. Sama halnya dengan ketika gue akan meninggalkan rumah ini. Seiringan dengan gue merapikan barang-barang masuk ke dalam boks pindahan, kenangan-kenangan yang aneh-aneh di rumah ini puntimbul seperti gue mergokin adek gue kencing di wastafel atau sewaktu dapur rumah gue hampir kebakaran.
Gue jadi inget pertama kalinya rumah ini kerampokan. Pagi itu, mobil lagi parkir di luar rumah, siap untuk mengantarkan adek gue pergi sekolah.Entah dari mana, datang empat orang, salah satunya membawa senjata api. Supir gue cuman bisa teriak ‘Maling!’, dan mobil gue dibawa pergi oleh salah satu dari mereka. Bokap, yang sadar apa yang terjadi, langsung keluar rumah bawa-bawa bambu dari garasi, untuk menghajar perampok tersebut. ‘Bang Dika! Ada perampok di depan rumah! Kita kejar mereka!’ teriak bokap pagi itu. Gue, yang waktu itu lagi mandi, cuman bisa ngibrit sambil bawa shampoo sebagai senjata. Yah, paling enggak kalo ketemu perampoknya, setidaknya gue bisa ngebuat matanya perih.
Gue inget kecelakaan pertama gue di rumah ini. Waktu itu, lagi malam Jumat Kliwon. Di malah yang katanya setan-setan pada keluar, gue berencana ngagetin pembantu yang tidur di kamarnya. Malem-malem, gue ngebungkus badan dengan seprei warna putih, sok-sok jadi pocong (tanpa make up, karena muka gue dari sananya udah serem). Gue berdiri di depan pintu kamar pembantu. Perlahan-lahan gue loncat di depan kamarnya, yang setengah terbuka.
‘Hiii,’ kata gue, sambil melompat.
Pembantu gue ngeliat, tapi bukannya jerit ketakutan, dia malah histeris, dan secara reflek ngambil tempat sampah yang ada di dekatnya, memukuli kepala gue bertubi-tubi sambil menjerit, ‘AAAH! AAAH!’. Jeritan dia, tertutup dengan jeritan gue. Setelah belasan hantaman, gue jatuh dari tangga. Sukses memar… dan bau sampah.
Gue inget kematian pertama yang ada di rumah ini, yang datang dari tiga ekor kucing Siam yang kita pelihara yang mati gara-gara dimandiin pagi-pagi. Gue inget pernah nongkrong di balkon kamar sambil main gitar. Gue inget mantan pacar gue pernah bikin surprise, bawain kue gede banget, jam dua belas malam. Gue inget, mantan pacar yang lain pernah membuat surprise yang serupa, beserta dengan adik-adik gue yang melemparkan tepung. Gue inget, gue harus cuci muka setelahnya, karena ada tepung yang masuk-masuk ke muka.
Sepotong-sepotong flashback ini muncul, semakin lama semakin banyak. Sepuluh tahun tinggal di sini memang waktu yang lama untuk punya banyak cerita. Sama seperti di film-film itu, ketika flashback masa lalu kita terlintas di depan mata, kenangan yang paling kuat terlihat adalah ketika kita masih kecil. Ingetan terjauh gue di rumah ini adalah sewaktu gue pun pertama kalinya tidur di rumah ini.
Ketika gue lagi beres-beres kamar, Nyokap masuk ke dalam. Dia melihat berbagai macam boks di segala penjara rumah, dan bertanya, ‘Kamu perlu boks lagi gak, Dik?’
‘Enggak, ini bentar lagi juga beres kok, Ma,’ kata gue.
Nyokap duduk di pinggir kasur gue. Dia melihat seisi kamar, lalu berkata, ‘Akhirnya kita pindah rumah juga ya? Setelah selama ini tinggal di sini.’
‘Iya.’
‘Mama jadi kepikiran deh.’ Nyokap manggut-manggut, matanya menerawang. ‘Kamu inget gak sih, pertama kali kita tinggal di sini?’
Gue mengangguk.Waktu itu pertengahan Maret tahun 1999, sewaktu gue masih SMP. Malam itu, gue tidur sendirian di kamar gue di lantai dua. Adik-adik sama nyokap semuanya ada di lantai satu. Seperti lazimnya orang yang baru pindah ke suasana yang baru, gue susah tidur. Gue tidur-tiduran, menunggu ngantuk yang enggak dateng-dateng. Segala cara udah gue lakukan untuk bisa tidur, dari mulai dengerin musik slow, sampai ke ngitung domba (yang akhirnya gagal, karena gue malah jadi gak bisa tidur dan lapar).
Gue masih inget bau khas rumah baru malam itu: ada campuran dari bau cat yang baru saja kering, kayu basah, dan lembab malam. Baunya menusuk, seperti dipaksa untuk dicium. Bau yang menemani gue susah tidur.
Di antara bunyi detikan jam, pintu kamar di ketok. Gue diam sebentar, memastikan bahwa ada orang yang mau masuk. Pintu kamar diketok lagi, dan gue mempersilakan orang masuk. Nyokap gue, memakai daster, membuka pintu.
‘Kok kamu belum tidur?’ tanya nyokap. ‘Udah jam 11 lho.’
‘Iya, belom, Ma.’ Gue bangun dari tempat tidur, dan duduk di pinggir. ‘Ini lagi nyoba.’
Nyokap memandangi ke arah kamar gue. Dia diam sebentar, tersenyum, lalu bertanya, ‘Kamu takut ya? Makanya belom tidur?’
‘Enggak kenapa harus takut?’
‘Ya, siapa tahu rumahnya ada hantunya, hiiiiii..’ kata nyokap, mencoba menakut-nakuti.
‘Enggak takut, Ma,’ jawab gue.
‘Kikkikikiki.’ Nyokap mencoba menirukan suara kuntilanak, yang terdengar seperti ABG lagi mabuk alkohol sewaktu hendakphotobox. ‘Kikikikikiki.’
‘Aku enggak ta-‘
‘KIKIKIKIKIKIKIKI!’ nyokap makin menjadi.
‘Ma,’ kata gue. ‘Kata orang, kalo kita malem-malem niruin ketawa kuntilanak, dia bisa dateng lho.’
‘JANGAN NGOMONG GITU, DIKA!’ Nyokap sewot. ‘Kamu durhaka ya nakut-nakutin orang tua kayak gitu! Awas ya kamu, Dika!’
Lah, ini tadi yang nakut-nakutin siapa, yang ketakutan siapa.
‘Ya udah deh, aku tidur dulu,’ kata gue.
‘Mama ke bawah, deh!’ seru Nyokap, lalu menutup pintu kamar gue.
Hening.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu kamar gue lagi.
‘Kamu jangan takut ya, Dika,’ kata nyokap, dengan muka terlihat di di samping pintu kamar yang setengah terbuka.‘Adek-adek kan semua tidur di bawah sama Mama. Lampu lantai dua semuanya udah mati. Tangganya aja gelap. Jangan takut ya. Mama turun ke bawah ya.’
‘Iya iya,’ kata gue, yang memang tidak takut.
Gue menghela napas, dan memandangi langit-langit kamar kembali.
Nyokap menutup pintu.
Hening.
Beberapa detik kemudian, kepala Nyokap kembali nongol dari balik pintu. Dia bilang, ‘Dik, kamu enggak aus?’
Gue menggelengkan kepala. ‘Enggak, kenapa, Ma?’
‘Yakin gak aus? Coba kamu rasain dulu, kamu aus kali..’
‘Enggak kenapa, Ma?’
‘Pasti kamu aus, di bawah ada minum. Kalau mau turun, sekalian aja sama Mama.’
‘Mama… takut turun tangga sendiri ya?’ tanya gue.
‘Gara-gara kamu, Dika cerita soal kuntilak! Durhaka kamu ya!’ Nyokap sewot. Gue, setengah malas, nemenin nyokap ke bawah. Tangannya mencengkram bahu gue erat.Malam pertama di rumah ini, ditandai dengangue nemenin nyokap turun tangga. Bahkan, sampai sekarang, nyokap masih takut turun tangga sendiri malem-malem dari lantai dua.
Sambil membereskan baju-baju, gue menceritakan ulang kejadian pertama kali di rumah ini barusan kepada dia. Dia langsung membantah mati-matian. ‘Mana mungkin mama sepenakut itu?!’
‘Ya emang begitu,’ kata gue, kalem.
‘Eh, kamu udah bilang belum ke si anukalau kamu mau pindah rumah?’ tanya nyokap.
‘Udah sih, dia udah tau,’ kata gue.
Gara-gara Nyokap bertanya seperti itu, sambil memasukkan barang-barang ke dalam boks, gue jadi kepikiran tentang dia. Ada perasaan yang sama antara sehabis putus dengan pindah rumah. Keduanya sama-sama harus meninggalkan sesuatu yang familiar dengan diri kita. Keduanya sama-sama memaksa kita untuk mengingat-ingat kenangan yang ada sebelumnya, disadari atau tidak. Dipaksa atau tidak.
Putus cinta sejatinya adalah sebuah kepindahan. Bagaimana kita pindah dari satu hati, ke hati yang lain. Kadang kita rela untuk pindah, kadang kita dipaksa untuk pindah oleh orang yang kita sayang, tapi, ujung-ujungnya sama: kita harus bisa maju ke depan, meninggalkan apa yang sudah menjadi rumah kosong.
Sama seperti memasukkan barang-barang ke dalam boks, gue juga harus memasukkan kenangan-kenangan gue dengan orang yang gue sayang ke dalam semacam boks kecil. Dan sama ketika kita baru putus, kenangan yang timbul paling kuat adalah yang paling awal. Seperti halnya gue inget nyokap yang minta ditemenin di hari pertama pindah, gue inget sewaktu kita awal-awal ketemu dulu, awal yang kayaknya begitu menyenangkan. Gue inget bagaimana kita bertemu secara tidak sengaja. Gue inget pertama kali kita berantem, yang dulu gue anggep sebagai suatu hal yang lucu. Lalu, gue inget bagaimana kita pertama kali baikan, dengan dua kelingking yang saling mengait dan sama-sama mengaku bahwa kita yang salah. Gue inget waktu gue masih ngebawain dia makanan. Gue inget, dia membawakan gue makanan. Gue inget, suatu malam di kamar sendirian, dengan kepala penuh pertanyaan: siapa yang salah? Apa yang salah? Ya, sudahlah. Tapi bagaimana pun juga, kenangan-kenanganyang memaksa untuk diingat itu harus dipaksa masuk ke dalam kotak.
Nyokap kembali membuyarkan lamunan gue dengan bertanya, ‘Kamu udah siap belum, Dik, buat pindah?’
Gue berhenti sebentar memasukkan beberapa buku ke dalam boks. Gue melihat Nyokap sebentar, lalu mengangguk pelan.
Lalu dengan ini, perjalanan panjang pindah ke rumah baru,
dan hati yang baru,
dimulai.
Pindah (part 2)
Semakin hari, Nyokap semakin excited untuk pindah rumah. Rumah kita yang lama sudah siap untuk dikosongkan, tapi satu detil yang Nyokap lupa: dia belum tahu mau pindah ke mana. Nyokap memang orangnya sangat impulsif, dia sering membuat keputusan cepat, tanpa pikir panjang, dan perencanaan yang matang. Karena udah terlanjur mantep pengen pindah, Nyokap memberi waktu kami untuk beres-beres rumah selasa satu bulan, sambil dia berburu rumah yang pas.
Maka, obsesi Nyokap atas pencarian rumah baru pun di mulai. Tabloid gossip yang biasa dia beli sekarang berganti dengan tabloid semua tentang rumah. Hasil membaca bahan yang segitu banyak berdampak sistemik, di kepalanya hanya ada satu hal: rumah. Pembicaraan dia pun jadi nyerempet-nyerempet ke rumah. Bahkan ketika dia menasehati adik gue, dia ngomongnya dengan hal yang berhubungan dengan rumah: ‘Kamu ya, Edgar. Dikasih tahu Mama gak pernah nurut. Ibarat lantai, kamu itu kayak marmer yang harusnya dipoles, tapi sengaja kamu biarkan kotor. Kamu tahu apa? Jangan-jangan kalau kamu besar nanti kamu bakalan jadi kontraktor yang mengambil uang klien dari Rancangan Anggaran Biaya!’
Selain membaca, dia juga aktif mencari rumah di mana-mana. Nyokap pergi ke agen, baca iklan rumah tiap hari, dan waktunya paling lama dia habiskan dengan melihat website tempat orang jualan rumah.
‘Mama jadi keasyikan buka website jualan rumah, Dika,’ kata nyokap sambil membuka halaman demi halaman website. ‘Sampai-sampai, sekarang Mama jadi lupa ngurusin Pet Society Mama lagi.’
Gue manggut-manggut. Mengingat nyokap gue, jika ada sesuatu yang bisa membuat dia lupa main Pet Society, maka hal itu pasti teramat penting. Mencari rumah baru, adalah hal tersebut.
‘Emang apa susahnya sih nyari rumah, Ma?’ tanya gue, saat dia membuka website yang baru lagi.
‘Lah? Nyari rumah baru itu susah, Dika,’ katanya. ‘Salah-salah kita bisa nyesel, dan harus stuck sama rumah itu sepanjang hidup kita. Rumah yang kita tuju harus yang pas, yang match sama kita.’
Setelah sekian banyak pencarian terhadap rumah yang match tadi, kandidat pertama nyokap adalah sebuah rumah di perumahan daerah Kebagusan. Kemudian dia urungkan karena katanya di daerah yang dia incer masih agak rawan. Selanjutnya dia mendapati calon rumah di daerah Pondok Indah, yang juga dia urungkan karena ternyata rumahnya “gak kayak difoto”.
Setelah beberapa calon kuat dijajaki dan dipertimbangkan, pilihan nyokap jatuh kepada sebuah rumah di daerah Cipete. Kata Nyokap, ‘Keren banget, Dik. Tamannya nanti mama mau bikin gede. Kamu bisa berjemur setiap hari di rumah.’ Gue memasang wajah aneh, mengingat manusia normal di Jakarta tidak pernah berjemur di taman rumahnya setiap hari.
Di saat Nyokap sedang mencari rumah baru untuk kami, diam-diam, gue juga mulai mencari rumah dalam bentuk lain: hati yang baru. Secara kebetulan, urusan pindah rumah ini juga bertepatan dengan urusan pindah hati. Temen-temen gue langsung membantu gue agar urusan pindah hati ini bisa selesai dengan baik. Menurut mereka, cara paling gampang untuk sembuh dari patah hati adalah dengan mencari hati yang baru. Maka, ini yang gue lakukan. Gue mencari, orang mana yang akan jadi tempat berlabuh hati gue yang baru. Secara sederhana, gue berpikir, orang yang baru ini akan menjadi solusi terhadap patah hati yang baru gue alami.
Sama dengan Nyokap yang terobsesi untuk mencari rumah yang terbaik, gue juga terobsesi mencari “orang baru” terbaik. Gue minta dikenalin sama temen-temen gue, kali-kali aja mereka punya temen yang bisa dikenalin. Selama sebulan, gue di set-up sama temen-temen gue dengan orang yang mereka pikir bisa cocok dengan gue. Kencan buta, menjadi suatu hal yang biasa pada saat itu. Gue pergi nge-date dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang. Gue pergi dengan orang yang katanya bisa ngeliat hantu, sampai ke orang yang dari jauh mirip hantu. Selama tiga bulan gue banyak sekali ketemuan untuk ngopi dengan berbagai-macam cewek, walaupun biasanya abis ngopi gue langsung berpikir, ‘Kayaknya bukan ini deh.’
‘Lo mau yang kayak gimana lagi sih?’ tanya temen gue, yang udah kapok menjodohkan gue dengan temen-temennya. ‘Gak ada yang lo menurut lo pas. Lo kira lagi milih baju?’
‘Ya, gue kan harus cari yang match.’
‘Emang kriteria lo gimana sih?’
Lalu gue menjelaskan kepada temen gue, bahwa gue gak punya kriteria cewek yang baik buat gue seperti apa. Banyak contoh orang yang udah punya kriteria spesifik yang pada akhirnya jadian dengan orang yang sama sekali bertolak belakang. Ara, seorang teman gue yang jomblo, berkata bahwa dia mau cowok seorang drummer, rumahnya deket, dan suka lagu Britpop; pada akhirnya dia justru pacaran sama seseorang yang bekerja di perusahaan periklanan, rumahnya jauh, dan menggemari lagu-lagu classic rock. Seorang teman cowok, mencari yang beda umurnya lebih muda minimal lima tahun, malah berakhir dengan seseorang yang lebih tua dua tahun. Konsep true match mungkin tidak mengenal kriteria yang terlalu spesifik seperti ini, atau konsep true match tidak mengenal kriteria.
Setelah gue jelasin panjang lebar, temen gue merespon, ‘Mungkin masalahnya bukan karena lo gak ada kriteria, atau cewek-cewek yang gue kenalin gak ada yang cocok sama lo?’
‘Jadi apa dong?’ tanya gue.
‘Lo emang masih mentok sama mantan lo itu.’
Gue diem sebentar. Kalimat itu membuat gue agak berpikir lama. Bagaimana jika temen gue bener?
Jangan-jangan, selama ini,
hati gue masih belum mau untuk pindah.
*
Di antara anggota keluarga, Bokap sebenernya orang yang gak mau pindah rumah. Namun, Bokap enggak bisa menolak keinginan Nyokap untuk pindah rumah. Ini disebabkan karena gue hidup di sebuah keluarga di mana tingkat kekuasaan tertinggi dipegang oleh Nyokap. Kalau mau dibandingkan dengan sebuah negara, Nyokap adalah presiden merangkap panglima angkatan bersenjata tertinggi (dengan dua orang pembantu di rumah sebagai prajuritnya). Bokap, adalah menteri, jadi harus nurut sama presiden. Gue dan tiga orang adik gue yang cewek, adalah Walikota, Bu Lurah, Bu RW, dan Bu RT secara berurutan. Sementara Edgar, adik gue yang paling kecil, ada di tingkat kekuasaan paling bawah sebagai bencong lampu merah.
‘Papa enggak mau pindah, Dik,’ kata Bokap, dengan aksen Batak, kepada gue.
‘Yah, Papa tahu sendiri Mama kalau ada maunya pasti susah dilawan.’
‘Bener juga, Dik,’ kata Bokap, dengan mata nanar.
‘Emang kenapa, Pa? Kok gak mau pindah?’
‘Papa udah terlalu terbiasa di rumah ini.’
Bokap memang termasuk orang yang sangat attached dengan barang-barang miliknya. Mobil yang dia pakai adalah sebuah Nissan Terano tahun 2000. Mobil tersebut dia miliki dari mulai gue masih SMP, dan sampai sekarang, dia belum pernah menggantinya. Mobilnya sudah sangat tidak layak, dan bolak-balik masuk bengkel. Tapi tetap saja, bokap memakai mobilnya tersebut dengan bangga, karena katanya, terlalu banyak kenangan yang melekat pada mobil tersebut.
Sama dengan mobilnya tersebut, rumah ini, juga penuh dengan kebiasaan-kebiasaan bokap, dan bokap sudah terbiasa melakukan rutinitasnya di rumah ini. Setiap pulang ke rumah, misalnya, bokap ngaji di ruang makan, selalu di jam yang sama, di kursi yang sama. Selesai mengaji, bokap akan menonton TV di ruang keluarga, duduk di depan pintu, dan kalau sudah ngantuk duduknya akan semakin ke belakang, belakang, dan akhirnya tidur di lantai. Kadang kebiasaan ketidurannya di ruang TV ini bisa membuat pembantu histeris ketika pembantu tersebut hendak membersihkan ruang TV pagi-pagi dan menemukan Bokap gue dengan kepala terjulur dari balik pintu.
Salah satu kebiasaan Bokap di rumah ini yang menurut gue agak-agak ajaib adalah kebiasaan yang dia selalu lakukan begitu dia bangun tidur, yaitu senam kentut. Ya, bokap gue termasuk orang yang gila kesehatan, dan salah satu hal menurut dia rahasia dia belajar senam, yang berujung pada kentut.
‘Tiap pagi, ada gas di perut kita yang harus dipaksa keluar, kalau enggak, kita bisa sakit,’ kata dia menjelaskan ritual senam kentutnya. ‘Jadi, Papa harus kentut setiap pagi. Kentut itu sehat.’
Bokap lalu mereganggkan badannya, dan dengan beberapa gerakan tiduran di lantai, dengan muka mengendan hingga berwarna merah, dia kentut. Dia sempat menjelaskan asal-muasal gerakan dahsyatnya itu. Dia bilang, ‘Jadi, Papa dulu ikut Merpati Putih (sejenis aliran beladiri), lalu pemanasan Merpati Putih itu, karena dia memakai tenaga dalam, bisa membuat kita kentut. Papa lalu baca buku kesehatan tentang pentingnya kentut. Maka Papa membiasakan diri menggunakan gaya-gaya Merpati Putih untuk kentut.’
Ada sedikit rasa malu di dada gue sebenarnya, sementara orang-orang lain yang belajar jurus-jurus Merpati Putih bisa kita lihat di TV-TV menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan api, menghancurkan batu, atau menahan pedang… Bokap gue malah menggunakan jurunya untuk.. kentut. Merpati Putih adalah aliran bela diri yang dahsyat, dan satu-satunya Bokap gue bisa lakukan kalau ketemu perampok berpisau di jalanan adalah dengan mengentuti senjatinya.
Di rumah, tempat dia melakukan senam kentut bermacam-macam. Kadang di taman, kadang di depan kamar tidur, hampir semua penjuru rumah ini pernah dia kentuti. Kecuali di dapur, karena ketika Bokap hendak senam kentut di sana, Nyokap selalu bilang, ‘Papa tega, meracuni makanan anak-anak kita?’
Kebiasaan ritual senam kentut ini pun mengundang kebiasaan lain: dia selalu melakuaknnya di pagi hari, dengan baju yang sama: atasan kaos oblong dan celana training putih. Urutan gerakannya sama: dia akan tiduran di lantai, badan menghadap atas, dengan muka penuh amarah dan ngeden sekuat tenaga ‘Hmmmph!’ Urat-urat mukanya terlihat, mukanya menunjukkan usaha keras yang amat sangat, lalu setelah usaha beberapa menit, akan terdengar suara lemah.. ‘Dut.’ Dia berhasil kentut. Terkadang, kalau lagi kuat banget, kentut Bokap akan berentet seperti semacam senapan mesin yang terbuat dari daging: ‘Dudududududududududut.’ Kadang sakit kuatnya, pinggul Bokap sempet ngangkat-ngangkat sendiri, mungkin karena tekanan angin dari bawah yang mementalkan tubuhnya. Kalau sudah begitu, Bokap akan terkulai lemah, selama beberapa menit, mungkin beberapa persen sari-sari kehidupannya ikut keluar dengan kentut yang terbuang.
Bokap enggan pindah rumah karena ini. Dia merasa bahwa kebiasaan-kebiasaan yang sudah dia lakukan sedari dulu, melekat dengan rumah ini. Rasanya akan beda kentut di rumah yang baru. Mungkin, dia akan sangat susah sekali kentut, karena lingkungannya yang beda tersebut. Bokap terlalu attached dengan rumah ini, sehingga mau sebagus apa pun rumah yang baru, rumah yang lama akan terlihat lebih nyaman. Ini adalah ilusi sebuah kepindangan: kadang, tempat yang baru dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap kenangan di tempat yang lama.
Hal yang sama juga gue perhatiin dengan urusan pindah hati. Gue masih attached dengan diri dia yang lama, dengan kebiasaan yang melekat pada diri dia. Seperti Bokap gue yang terbiasa senam kentut di pagi hari, gue terbiasa untuk menelpon dia ketika baru aja bangun. Gue terbiasa untuk tidak tidur sebelum mendengarkan suaranya lagi. Gue terbiasa untuk gandengan di mallsetiap Sabtu malam. Gue terbiasa dengan semua kebiasaan ini.
Seperti Bokap gue juga, masih attched kenangan kita yang lama, yang gue masih belum bisa ngelupain. Melupakan sesuatu memang tidak mudah. Dalam kasus gue, salah satu hal yang menjengkelkan adalah kenangan-kenangan yang menempel pada tempat kita pacaran dulu. Café tempat kita pertama bertemu tidak pernah lagi terasa sama. Tempat pertama kali nge-date, event yang secara rutin kita lalui, semua tempat-tempat itu seperti menempel dengan kenangan akan orang yang coba kita lupakan. Perjuangan untuk pindah adalah perjuangan untuk melupakan. Kadang gue mikir gue bisa dengan gampang ngelupain hal-hal yang remeh: janjian sama orang, tugas kuliah, atau ulang tahun seorang teman. Kadang, gue pengen kemampuan gampang lupa ini juga bisa berlaku pada hal-hal yang penting.
Di saat ini gue berusaha untuk paham: untuk bisa pindah ke hati yang baru, untuk menemukan true match, gue harus melupakan dulu yang lama. Tapi, bagaimana caranya?
Pindah part 3
Kita sekeluarga akhirnya pindah ke sebuah rumah di Cipete. Nyokap menemukan rumah tersebut dari hasil pencarian yang cukup panjang dan lama. Rumah yang baru itu kira-kira luasnya 250 m2, dengan taman di belakang. Masing-masing adik gue punya kamarnya sendiri. Kamar yang paling besar diklaim oleh Yudhita, adik gue yang paling besar. Sedangkan kamar yang paling kecil, didiamin oleh Edgar. Kamar gue sendiri berada di lantai dua. Sebelum gue pindah ke sana dan actually melihat seperti apa bentuk kamarnya, nyokap selalu membesar-besarkan kamar ini, dia bilang, ‘Gila Dik, kamar kamu besar banget lho di rumah yang baru!’
‘Oh ya?’ tanya gue, agak sedikit gak yakin. Gue tahu banget nyokap gue, dan dia sering banget membesar-besarkan hal yang tidak penting.
‘Yaaa.. gak besar-besar sih, tapi cukup besar lah buat kamu sendiri.’
‘Oh ya?’ tanya gue, lagi.
‘Yaaaaa, gak cukup besar juga  sih buat kamu sendiri, tapi buat tidur sama kerja sih cukup.’
‘Oh ya?’
‘Yaaaaaaa.. cukup lah buat tidur aja sih. Kerja atau nulis kan bisa di cafe.’
Sampai di sini gue memutuskan untuk tidak bertanya lagi soal kamar, takut tiba-tiba yang keluar dari mulut nyokap adalah, ‘Yaaaa, gak cukup besar buat tidur sih. Tapi cukup lah untuk berdiri...’
Sesampainya gue di rumah yang baru, ternyata nyokap melupakan satu detil yang belum dia ceritakan pada gue, yaitu kamar gue yang baru dulunya bekas kamar anak kecil. Begitu gue menginjakkan kaki di kamar tersebut, hal pertama yang gue lihat adalah wallpaper kamar gue bergambar Winnie The Pooh megang balon. Ya, gak cuman Winnie The Pooh si beruang madu imut kegemaran anak kecil, tetapi beruang tanpa celana tersebut juga harus  memegang balon.
Di malam pertama gue pindah rumah yang baru, gue mencoba tidur di kamar dengan wallpaper Winnie The Pooh tersebut. Hasilnya, gue gak bisa tidur semaleman. Ada rasa yang asing yang gue rasain di kamar itu. Gue termasuk orang yang susah tidur di tempat yang tidak biasa, dan kamar yang baru ini, adalah salah satu contoh yang baik. Semaleman gue bolak-balik badan, mencoba untuk tidur. Segala cara udah gue lakuin, dari mulai mendengarkan musik-musik jazz yang lembut, sampai kepada meditasi kecil-kecilan. Hasilnya, tetep gue gak bisa tidur. Kamar ini terasa terlalu asing untuk ditiduri, dan gue gak terlalu suka untuk ngerasa seperti itu.
Tidak cukup dengan kamar yang kecil dan kekanak-kanakan tersebut, rumah yang baru ini juga punya masalah sama listrik. Mungkin karena pemilik lamanya lupa mengurusi rumah, atau alasan yang lainnya, listrik di rumah ini sering mati. Gue sering lagi nonton film-film komedi di DVD player, dan sering sekali setiap kali gue lagi ketawa-ketawa nonton, tiba-tiba listrik mati. Hal ini menyebabkan gue jadi terbiasa untuk nonton yang diiringi tertawa dengan erangan yang berbunyi ‘HahahahahAAARGGGHHH!!!!!’
Masalah lain juga muncul di kamar gue yang baru ini. Suatu pagi gue terbangun dengan bantal yang basah, dengan bekas genangan air tepat di sekeliling kepala gue. Pertama-tama gue berpikir jangan-jangan gue ngences pas lagi tidur, setelah gue berpikir bahwa air liur manusia normal tidak mungkin sebanyak itu sampai membuat bantal gue basah, jadi buru-buru gue hapus teori tersebut. Gue sempet bilang ke nyokap, ‘Ma, kok bangun-bangun kok bantal basah ya?’
‘Ah, Dika. Kamu ngompol kali! Hihihi!’ kata Nyokap.
Karena gue gak mungkin pipis dari kepala, jadi teori nyokap juga tidak berlaku. Setelah beberapa hari berturut-turut bangun dengan bantal basah, gue akhirnya menemukan penyebabnya, langit-langit kamar gue ternyata bocor. Lengkaplah sudah penderitaan.
Rumah ini sama sekali bukan
*
Di masa ini pula gue udah enggak mentok sama pacar gue yang lama, dan mulai membuka hati kepada orang lain. Di masa ini juga, gue kenal dengan Vani. Pertemuan gue dengan Vani di mulai dari perjodohan yang dilakukan oleh Sasha, temen gue, kepadanya. Temen gue ini nampaknya punya obsesi jadi Mak Comblang, jadi dia kadang terlalu bersemangat menjodohkan gue dengan Vani. ‘Orangnya, gue lihat, cocok banget sama lo, Dit. Lo orangnya lucu, dia juga gila banget jadi orang.’
‘Masa sih? Gue udah berapa kali kenal sama orang, tapi kok gak pernah bisa nemu yang cocok ya.’
‘Kriteria lo kebanyakan kali,’ kata temen gue. ‘Lo tuh ya, udah jelek, kriterianya juga kebanyakan, jadinya gak bakal ketemu yang pas deh.’
‘Wajar kali kalo punya banyak kriteria, kita kan emang pengen yang terbaik buat diri kita, kan?’ tanya gue balik, membela diri.
Gue selalu berpendapat, semakin tua seseorang, akan semakin susah orang tersebut untuk menemukan true match-nya. Gue gak tau kenapa. Kecurigaan gue yang utama adalah dengan semakin banyaknya kriteria kita untuk orang yang akan menjadi pasangan kita. Sewaktu kecil dulu, kriteria yang ada hanya satu: dia suka sama gue. Kriteria yang ada di umur-umur gue, sekitar dua puluh lima tahunan, adalah: dia suka sama gue, kerjaannya mesti bagus, lulusan universitas yang bagus, keluarganya juga harus cocok sama keluarga gue, sampai kepada agamanya harus sama.  Kadang, kita juga kenal dengan orang baru untuk membuktikan apakah kriteria-kriteria ini berlaku di orang tersebut. Dan kadang, kita bisa saja salah.
‘Lo harus ketemu Vani, untuk ngebuktiin bahwa kriteria lo itu cuman membatasi lo untuk menjadi bahagia,’ kata Sasha.
‘Oke deh. Set me up,’ kata gue, merasa tertantang.
Selajutnya, gue ngopi sama Vani di suatu hari Sabtu yang mendung. Kita duduk berdua, ngobrol, tanpa ada ekspektasi satu sama lain. Vani datang ke sana karena dipaksa oleh Sasha, begitu pun dengan gue. Kami dipertemukan karena sebuah keterpaksaan. Di saat kita duduk berdua, juga tidak terlihat hal-hal yang nyambung. Vani adalah seorang adventurer, petualang, dia suka bungee jumping, dia suka mencoba hal-hal ekstrim. Sementara gue, naik Istana Boneka di Dufan aja udah muntah-muntah. Vani juga orang yang suka di luar rumah, berpergian ke mana-mana. Sementara gue, hari ideal buat gue adalah hari di mana gue gak ngapa-ngapain, cuman tidur aja seharian di rumah, sambil sesekali baca buku. Dengan begini semua sudah jelas: Vani, sama sekali tidak masuk kriteria gue. Begitu pula sebaliknya: gue, tidak masuk dengan kriteria Vani. First date yang kita alami mungkin first date paling tidak cocok yang pernah kita sama-sama alami dalam sejarah pencarian pacar kita berdua.
Selama tiga minggu gue tidak ketemu dengan Vani lagi. Dia melanjutkan hidupnya seperti biasa, gue pun juga. Kita sama-sama berpikir bahwa apa yang terjadi di first date kemarin mungkin hanyalah bad idea dan kita sama-sama malu untuk itu. Hingga pada akhirnya gue ketemu lagi dengan Vani di Bandung, di sebuah acara yang gue hadiri. Gue datang sebagai undangan sebuah cafe yang baru saja dibuka, dan dia datang sebagai teman pemilik cafe tersebut. Karena gak tau mau ngobrol sama siapa, gue akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu, ngobrol sama dia saja. Berbeda dengan apa yang kita alami sewaktu first date, sekarang actually we had fun. Mungkin sekarang beban first date sudah tidak ada lagi, ketimbang pas kita ketemu pertama kali, yang sama-sama terbebani oleh kewajiban untuk membuat Sasha merasa kita berdua cocok, yang ternyata justru membuat kita merasa tidak cocok.
Semakin lama, gue semakin dekat dengan Vani. Di suatu waktu gue berpergian dengan Vani, gue sempet mampir ke rumah untuk mengambil jaket. Dia lalu turun, katanya mau ketemu pertama kali dengan adik-adik gue.  Dia menunggu di ruang tamu, sementara gue ke kamar mengambil jaket. Sebelum kita kembali ke mobil, dia sempet bilang, ‘You know, this is really a nice house.’
‘Pffft. Lo gak tau, gue gak suka banget sama rumah ini. Apalagi kamar gue.’
‘Kenapa?’
‘Langit-langit bocor, wallpaper kamar gue Winnie The Pooh pula.’
Dia sempet ketawa sebentar, lalu dia mengaku, ‘Gue suka banget Winnie The Pooh lho. Lo emang gak pernah nonton kartunnya? Apa bukunya? Itu gak terlalu anak-anak banget ah. Dan semua karakternya lucu-lucu.’
‘Masa sih?’ tanay gue, gak percaya.
‘Lagian, langit-langit bocor kan juga bisa dibenerin, repot amat gitu doang,’ kata dia, ngeledek.
Gue lalu buru-buru ngajak dia pergi keluar.
Malam itu, karena tidak tahu mau pergi ke mana, kami berdua lalu pergi ke Bandara Soekarno-Hatta, ke Terminal 3. Di situ, kami dudu di parkiran, di atas kap mobil, ngeliatin pesawat yang terbang satu per satu. Setiap kali ada pesawat yang lewat, kami foto dan berlomba untuk mengadu gambar siapa yang paling bagus. Malam itu, kami juga cerita banyak soal masa depan, masa lalu, dan apa yang kita lagi kejar sekarang.
‘This is fun,’ katanya.
‘Ya,’ kata gue. ‘This is fun.’
Gue lalu meminta orang ke rumah untuk membenarkan langit-langit kamar yang bocor. Sekarang kamarnya sudah tidak bocor lagi. Wallpaper-nya? Ternyata, setelah gue pikir-pikir, punya wallpaper Winnie The Pooh gak ada salahnya kok. Gue ternyata betah sama rumah ini. Gue jadi bisa ngeliat apa yang tadinya tidak bisa gue lihat. Gue lalu mulai membandingkan dengan rumah yang lama. Rumah yang lama tidak punya taman, yang sekarang punya. Alfa, kucing persia gue, yang pas awal kepindahannya takut-takut keluar dari kandang untuk mejelajahi rumah yang baru, sekarang tiap pagi punya ritual khusus. Tiap pagi di akan ke taman untuk berjemur, lalu siang masuk lagi ke kandang. She look like enjoying every moment di rumah yang baru ini.
Beberapa malam kemudian, gue pulang ke rumah setelah mengantarkan Vani ke rumahnya. We had great time, as usual. Kali ini kenyamanan yang gue rasain. Kadang, ada keheningan di sela kita ngobrol, karena kita enggak tahu apa lagi yang mau kita omongin. Tapi, kali ini, ada kenyamanan di antara keheningan itu. Seolah-olah gak apa-apa untuk tidak tahu ngomong apa-apa. Dan itu, rasanya, nyaman sekali.
Begitu gue masuk ke dalam rumah, menaruh kunci mobil di tempat biasa, Nyokap keluar dari kamarnya. Dia bertanya, ‘Baru pulang?’
‘Iya.’
‘Malem banget, Dik,’ kata nyokap.
‘Abis pergi, Ma. Baru pulangnya jam segini.’
Dia lalu bertanya, ‘Gimana, Dik? Kamu cocok gak?’
Gue nanya, ‘Cocok?’
‘Iya, sama rumah ini. Cocok gak?’
‘Oh, cocok, Ma.’ Gue lalu naik ke kamar. ‘Sekarang jadi cocok.’
Di kamar, gue melihat nama Vani di Blackberry Messenger. Sudah ada pesan dari dia, ‘Thanks for another good day with you.’ Gue menghela napas, memandangi langit-langit kamar yang sudah dibetulkan. Gue lalu berpikir, perjalanan menemukan true match seperti menemukan rumah yang cocok. Because, in the end, our true match adalah orang yang terasa seperti rumah: orang itu memberikan kita shelter, comfort, and protect you during rainy days.
Dan gue sangat berharap akan lama betah di rumah yang baru ini.
Di kedua rumah yang baru ini.
Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 11 Desember 2010

PINDAH @Raditya Dika


Pindah



Satu jam setelah putus cinta, gue dapet kabar kami sekeluarga akan pindah rumah. Waktu itu gue baru saja sampai rumah, pulang dari sebuah café, di mana di sana gue abis diputusin oleh pacar gue selama tujuh bulan. Setelah menaruh kunci mobil dan duduk menghela napas di ruang makan, nyokap keluar dari kamar tidurnya. Dia menghampiri gue dengan mata berbinar-binar, berbeda dengan mata gue yang sendu dan redup, mata orang yang baru mendengar kata-kata “kayaknya kita emang gak cocok”.
Ada bahasa tubuh khas nyokap ketika dia sedang ingin mengucapkan kabar gembira: jalannya agak loncat-loncat kecil, poninya sedikit terkibas-kibas, dan alisnya naik turun. Nyokap terlihat seperti Dora The Explorer kebelet gaul. Dia lalu membuka mulutnya, setengah berteriak, ‘Kita pindah rumah bulan depan! Yaay!’
‘Pindah… apa yang pindah?’ tanya gue.
‘Iya, Dika,’ kata Nyokap sambil menepuk pelan pundak gue.‘Kita bakalan pindah rumah!’
‘Oh… Ya udah.’
‘Kok “oh ya udah”? Kamu dengerin apa kata mama gak sih, Dika? Kita pindah bulan depan!’
Jelas, dia tidak tahu apa yang sedang gue pikirkan di kepala gue.
‘Oh, iya. Asik. Pindah,’ jawab gue, datar.
‘Hidih. Kamu gak bisa diajak bicara nih,’ kata nyokap gue, sewot.
Sejujurnya, gue sedang tidak bisa diajak bicara, karena, well, gue baru aja putus. Satu-satunya ajakan Nyokap yang bisa gue turutin mungkin nonton Titanic bareng sambil ngabisin tissue pas adegan Leonardo di Caprio bilang ke Kate Winslet, ‘You jump, I jump’, dan saat nonton adegan itu, mungkin gue bakal menjerit, ‘Kenapa kamu gak jump juga kayak Leonardo, sayang? Kenapa kamu malah jump sendirian?’
‘Dika! Kamu dengerin mama gak sih?!’ tanya nyokap, membuyarkan lamunan gue yang kalau diteruskan mungkin akan semakin kebanci-bancian. ‘Muka kamu kok kusut banget, kamu abis darimana sih?’
Gue memilih untuk tidak menjawab.
‘Kok kamu diem aja, mata kamu kosong. Mata kamu kosong, Dika! Kamu mabuk ya? Abis party ya?!’
Nyokap memang orangtua yang curigaan.
‘Aku abis putus, Ma,’ kata gue, pelan.
‘Sama si anu?’ tanya nyokap, tidak menyebutkan namanya. ‘Si anu itu, Dik?’
‘Iya, si anu.’
‘Ya ampun, kamu putus sama si anu?!’ Kalau ada orang yang gak ngerti apa-apa mendengarkan pembicaraan kita berdua ini mungkin dia mengira gue habis diputuskan oleh alat kelamin seseorang.
Gue mengangguk.
‘Lah kenapa kamu bisa putus sama dia, Dik? Anaknya kan baik?’ tanya nyokap.
Gue menjawab dengan jawaban yang paling jujur, ‘Yah, karena gak cocok.’
‘Udah gitu doang?’
‘Udah gitu doang.’
Nyokap mungkin membutuhkan jawaban dramatis lain seperti di tayangan reality show yang sering dia tonton: ‘Aku putus, Ma. Dia tahu aku simpenan janda.’
‘Pasti kamu yang salah,’ kata nyokap.
‘Mungkin,’ jawab gue. ‘Mungkin juga dia yang salah. Atau kita yang sama-sama salah.’
Di tengah-tengah pembicaraan kita, Bokap gue masuk dari garasi. Dia terlihat seperti orang yang baru pulang dari kerja, dengan kemeja yang sudah tidak dikancingkan, sehingga kaus oblongnya yang putih terlihat secara jelas. Dia menggarukkepalanya, ‘Ada apa, Ma?’
‘Ini, si Dika,’ kata nyokap. ‘Dia putus lagi.’
‘Hah? Lagi? Makanya, Papa sudah bilang sama kau,’ kata bokap, selalu dengan aksen Bataknya. ‘Pasti kamu yang bikin salah lagi.’
‘Salah gimana?’ tanya gue.
Bokap melanjutkan, ‘Kan sudah papa berulangkali kasih tahu, kalau kau sayang sama orang kau tunjukkan. Papa rasa kau itu kurang sayang sama pacar-pacar kau. Nih, Papa kasih tahu ya. Kalau dia pergi sama kamu, kamu yang bukain pintu dong. Kalo kamu lagi nyetir, terus dia bersin, kamu panasin AC-nya. Kalau dia bawaannya banyak, kamu bawain bawaannya.’ Sampai sejauh ini gue berpikir, sepertinya bokap gue agak ketuker antara supir dengan pacar.
Gue diem aja.
Bokap melanjutkan, ‘Udah, kamu cuci muka, mandi sana. Jangan kau sedih-sedih lah. Masih banyak ikan di laut. Hahaha!’
‘Kita pindah rumah bulan depan lho,’ kata nyokap, ‘Jangan lupa. Kamu kan sibuk, biar gak ribet kamu beres-beres mulai sekarang ya.’
Gue lalu melirik ke arah nyokap, lalu menanyakan pertanyaan yang seharusnya gue tanyakan dari awal, ‘Tapi kenapa harus pindah sih emangnya? Bukannya rumah ini baik-baik aja?’
‘Dika, Dika, Dika,’ kata Nyokap. Dia menggelengkan kepalanya. ‘Rumah ini udah terlalu sempit buat kita, Dika. Adik-adik kamu udah pada gede semuanya, mama ngerasa keluarga kita udah jadi terlalu besar untuk rumah ini. Kita tumbuh lebih besar daripada rumah ini. Jadi kita harus pindah.’
Bokap dan Nyokap berbarengan masuk kamar, meninggalkan gue sendirian. Tidak lama, gue berdiri, berjalan ke arah dapur dan mencuci gelas bekas hot chocolate yang barusan gue minum.
Mungkin itu masalahnya, pikir gue. Seperti rumah ini yang jadi terlalu sempit buat keluarga ini, gue juga menjadi terlalu sempit buat dia. Dan ketika sesuatu sudah mulai sempit dan tidak nyaman, saat itulah seseorang harus pindah ke tempat yang lebih luas dan cocok untuk dirinya. Rumah ini tidak salah,kita tidak salah. Yang salah adalah kalau dua hal tersebut tetap bersama-sama.
Sama seperti gue dan dia.
Dan dia, memutuskan untuk pindah.
*
Seminggu setelah Nyokap memberitahu kita bakalan pindah rumah, hidup gue diisi dengan memasukkan barang-barang di kamar ke dalam boks-boks. Di film-film digambarkan ketika kita akan meninggalkan dunia ini maka kenangan-kenangan hidup kita akan muncul bergantian secara kronologis, dari yang baru terjadi hingga ingatan yang paling jauh. Sama halnya dengan ketika gue akan meninggalkan rumah ini. Seiringan dengan gue merapikan barang-barang masuk ke dalam boks pindahan, kenangan-kenangan yang aneh-aneh di rumah ini puntimbul seperti gue mergokin adek gue kencing di wastafel atau sewaktu dapur rumah gue hampir kebakaran.
Gue jadi inget pertama kalinya rumah ini kerampokan. Pagi itu, mobil lagi parkir di luar rumah, siap untuk mengantarkan adek gue pergi sekolah.Entah dari mana, datang empat orang, salah satunya membawa senjata api. Supir gue cuman bisa teriak ‘Maling!’, dan mobil gue dibawa pergi oleh salah satu dari mereka. Bokap, yang sadar apa yang terjadi, langsung keluar rumah bawa-bawa bambu dari garasi, untuk menghajar perampok tersebut. ‘Bang Dika! Ada perampok di depan rumah! Kita kejar mereka!’ teriak bokap pagi itu. Gue, yang waktu itu lagi mandi, cuman bisa ngibrit sambil bawa shampoo sebagai senjata. Yah, paling enggak kalo ketemu perampoknya, setidaknya gue bisa ngebuat matanya perih.
Gue inget kecelakaan pertama gue di rumah ini. Waktu itu, lagi malam Jumat Kliwon. Di malah yang katanya setan-setan pada keluar, gue berencana ngagetin pembantu yang tidur di kamarnya. Malem-malem, gue ngebungkus badan dengan seprei warna putih, sok-sok jadi pocong (tanpa make up, karena muka gue dari sananya udah serem). Gue berdiri di depan pintu kamar pembantu. Perlahan-lahan gue loncat di depan kamarnya, yang setengah terbuka.
‘Hiii,’ kata gue, sambil melompat.
Pembantu gue ngeliat, tapi bukannya jerit ketakutan, dia malah histeris, dan secara reflek ngambil tempat sampah yang ada di dekatnya, memukuli kepala gue bertubi-tubi sambil menjerit, ‘AAAH! AAAH!’. Jeritan dia, tertutup dengan jeritan gue. Setelah belasan hantaman, gue jatuh dari tangga. Sukses memar… dan bau sampah.
Gue inget kematian pertama yang ada di rumah ini, yang datang dari tiga ekor kucing Siam yang kita pelihara yang mati gara-gara dimandiin pagi-pagi. Gue inget pernah nongkrong di balkon kamar sambil main gitar. Gue inget mantan pacar gue pernah bikin surprise, bawain kue gede banget, jam dua belas malam. Gue inget, mantan pacar yang lain pernah membuat surprise yang serupa, beserta dengan adik-adik gue yang melemparkan tepung. Gue inget, gue harus cuci muka setelahnya, karena ada tepung yang masuk-masuk ke muka.
Sepotong-sepotong flashback ini muncul, semakin lama semakin banyak. Sepuluh tahun tinggal di sini memang waktu yang lama untuk punya banyak cerita. Sama seperti di film-film itu, ketika flashback masa lalu kita terlintas di depan mata, kenangan yang paling kuat terlihat adalah ketika kita masih kecil. Ingetan terjauh gue di rumah ini adalah sewaktu gue pun pertama kalinya tidur di rumah ini.
Ketika gue lagi beres-beres kamar, Nyokap masuk ke dalam. Dia melihat berbagai macam boks di segala penjara rumah, dan bertanya, ‘Kamu perlu boks lagi gak, Dik?’
‘Enggak, ini bentar lagi juga beres kok, Ma,’ kata gue.
Nyokap duduk di pinggir kasur gue. Dia melihat seisi kamar, lalu berkata, ‘Akhirnya kita pindah rumah juga ya? Setelah selama ini tinggal di sini.’
‘Iya.’
‘Mama jadi kepikiran deh.’ Nyokap manggut-manggut, matanya menerawang. ‘Kamu inget gak sih, pertama kali kita tinggal di sini?’
Gue mengangguk.Waktu itu pertengahan Maret tahun 1999, sewaktu gue masih SMP. Malam itu, gue tidur sendirian di kamar gue di lantai dua. Adik-adik sama nyokap semuanya ada di lantai satu. Seperti lazimnya orang yang baru pindah ke suasana yang baru, gue susah tidur. Gue tidur-tiduran, menunggu ngantuk yang enggak dateng-dateng. Segala cara udah gue lakukan untuk bisa tidur, dari mulai dengerin musik slow, sampai ke ngitung domba (yang akhirnya gagal, karena gue malah jadi gak bisa tidur dan lapar).
Gue masih inget bau khas rumah baru malam itu: ada campuran dari bau cat yang baru saja kering, kayu basah, dan lembab malam. Baunya menusuk, seperti dipaksa untuk dicium. Bau yang menemani gue susah tidur.
Di antara bunyi detikan jam, pintu kamar di ketok. Gue diam sebentar, memastikan bahwa ada orang yang mau masuk. Pintu kamar diketok lagi, dan gue mempersilakan orang masuk. Nyokap gue, memakai daster, membuka pintu.
‘Kok kamu belum tidur?’ tanya nyokap. ‘Udah jam 11 lho.’
‘Iya, belom, Ma.’ Gue bangun dari tempat tidur, dan duduk di pinggir. ‘Ini lagi nyoba.’
Nyokap memandangi ke arah kamar gue. Dia diam sebentar, tersenyum, lalu bertanya, ‘Kamu takut ya? Makanya belom tidur?’
‘Enggak kenapa harus takut?’
‘Ya, siapa tahu rumahnya ada hantunya, hiiiiii..’ kata nyokap, mencoba menakut-nakuti.
‘Enggak takut, Ma,’ jawab gue.
‘Kikkikikiki.’ Nyokap mencoba menirukan suara kuntilanak, yang terdengar seperti ABG lagi mabuk alkohol sewaktu hendakphotobox. ‘Kikikikikiki.’
‘Aku enggak ta-‘
‘KIKIKIKIKIKIKIKI!’ nyokap makin menjadi.
‘Ma,’ kata gue. ‘Kata orang, kalo kita malem-malem niruin ketawa kuntilanak, dia bisa dateng lho.’
‘JANGAN NGOMONG GITU, DIKA!’ Nyokap sewot. ‘Kamu durhaka ya nakut-nakutin orang tua kayak gitu! Awas ya kamu, Dika!’
Lah, ini tadi yang nakut-nakutin siapa, yang ketakutan siapa.
‘Ya udah deh, aku tidur dulu,’ kata gue.
‘Mama ke bawah, deh!’ seru Nyokap, lalu menutup pintu kamar gue.
Hening.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu kamar gue lagi.
‘Kamu jangan takut ya, Dika,’ kata nyokap, dengan muka terlihat di di samping pintu kamar yang setengah terbuka.‘Adek-adek kan semua tidur di bawah sama Mama. Lampu lantai dua semuanya udah mati. Tangganya aja gelap. Jangan takut ya. Mama turun ke bawah ya.’
‘Iya iya,’ kata gue, yang memang tidak takut.
Gue menghela napas, dan memandangi langit-langit kamar kembali.
Nyokap menutup pintu.
Hening.
Beberapa detik kemudian, kepala Nyokap kembali nongol dari balik pintu. Dia bilang, ‘Dik, kamu enggak aus?’
Gue menggelengkan kepala. ‘Enggak, kenapa, Ma?’
‘Yakin gak aus? Coba kamu rasain dulu, kamu aus kali..’
‘Enggak kenapa, Ma?’
‘Pasti kamu aus, di bawah ada minum. Kalau mau turun, sekalian aja sama Mama.’
‘Mama… takut turun tangga sendiri ya?’ tanya gue.
‘Gara-gara kamu, Dika cerita soal kuntilak! Durhaka kamu ya!’ Nyokap sewot. Gue, setengah malas, nemenin nyokap ke bawah. Tangannya mencengkram bahu gue erat.Malam pertama di rumah ini, ditandai dengangue nemenin nyokap turun tangga. Bahkan, sampai sekarang, nyokap masih takut turun tangga sendiri malem-malem dari lantai dua.
Sambil membereskan baju-baju, gue menceritakan ulang kejadian pertama kali di rumah ini barusan kepada dia. Dia langsung membantah mati-matian. ‘Mana mungkin mama sepenakut itu?!’
‘Ya emang begitu,’ kata gue, kalem.
‘Eh, kamu udah bilang belum ke si anukalau kamu mau pindah rumah?’ tanya nyokap.
‘Udah sih, dia udah tau,’ kata gue.
Gara-gara Nyokap bertanya seperti itu, sambil memasukkan barang-barang ke dalam boks, gue jadi kepikiran tentang dia. Ada perasaan yang sama antara sehabis putus dengan pindah rumah. Keduanya sama-sama harus meninggalkan sesuatu yang familiar dengan diri kita. Keduanya sama-sama memaksa kita untuk mengingat-ingat kenangan yang ada sebelumnya, disadari atau tidak. Dipaksa atau tidak.
Putus cinta sejatinya adalah sebuah kepindahan. Bagaimana kita pindah dari satu hati, ke hati yang lain. Kadang kita rela untuk pindah, kadang kita dipaksa untuk pindah oleh orang yang kita sayang, tapi, ujung-ujungnya sama: kita harus bisa maju ke depan, meninggalkan apa yang sudah menjadi rumah kosong.
Sama seperti memasukkan barang-barang ke dalam boks, gue juga harus memasukkan kenangan-kenangan gue dengan orang yang gue sayang ke dalam semacam boks kecil. Dan sama ketika kita baru putus, kenangan yang timbul paling kuat adalah yang paling awal. Seperti halnya gue inget nyokap yang minta ditemenin di hari pertama pindah, gue inget sewaktu kita awal-awal ketemu dulu, awal yang kayaknya begitu menyenangkan. Gue inget bagaimana kita bertemu secara tidak sengaja. Gue inget pertama kali kita berantem, yang dulu gue anggep sebagai suatu hal yang lucu. Lalu, gue inget bagaimana kita pertama kali baikan, dengan dua kelingking yang saling mengait dan sama-sama mengaku bahwa kita yang salah. Gue inget waktu gue masih ngebawain dia makanan. Gue inget, dia membawakan gue makanan. Gue inget, suatu malam di kamar sendirian, dengan kepala penuh pertanyaan: siapa yang salah? Apa yang salah? Ya, sudahlah. Tapi bagaimana pun juga, kenangan-kenanganyang memaksa untuk diingat itu harus dipaksa masuk ke dalam kotak.
Nyokap kembali membuyarkan lamunan gue dengan bertanya, ‘Kamu udah siap belum, Dik, buat pindah?’
Gue berhenti sebentar memasukkan beberapa buku ke dalam boks. Gue melihat Nyokap sebentar, lalu mengangguk pelan.
Lalu dengan ini, perjalanan panjang pindah ke rumah baru,
dan hati yang baru,
dimulai.
Pindah (part 2)
Semakin hari, Nyokap semakin excited untuk pindah rumah. Rumah kita yang lama sudah siap untuk dikosongkan, tapi satu detil yang Nyokap lupa: dia belum tahu mau pindah ke mana. Nyokap memang orangnya sangat impulsif, dia sering membuat keputusan cepat, tanpa pikir panjang, dan perencanaan yang matang. Karena udah terlanjur mantep pengen pindah, Nyokap memberi waktu kami untuk beres-beres rumah selasa satu bulan, sambil dia berburu rumah yang pas.
Maka, obsesi Nyokap atas pencarian rumah baru pun di mulai. Tabloid gossip yang biasa dia beli sekarang berganti dengan tabloid semua tentang rumah. Hasil membaca bahan yang segitu banyak berdampak sistemik, di kepalanya hanya ada satu hal: rumah. Pembicaraan dia pun jadi nyerempet-nyerempet ke rumah. Bahkan ketika dia menasehati adik gue, dia ngomongnya dengan hal yang berhubungan dengan rumah: ‘Kamu ya, Edgar. Dikasih tahu Mama gak pernah nurut. Ibarat lantai, kamu itu kayak marmer yang harusnya dipoles, tapi sengaja kamu biarkan kotor. Kamu tahu apa? Jangan-jangan kalau kamu besar nanti kamu bakalan jadi kontraktor yang mengambil uang klien dari Rancangan Anggaran Biaya!’
Selain membaca, dia juga aktif mencari rumah di mana-mana. Nyokap pergi ke agen, baca iklan rumah tiap hari, dan waktunya paling lama dia habiskan dengan melihat website tempat orang jualan rumah.
‘Mama jadi keasyikan buka website jualan rumah, Dika,’ kata nyokap sambil membuka halaman demi halaman website. ‘Sampai-sampai, sekarang Mama jadi lupa ngurusin Pet Society Mama lagi.’
Gue manggut-manggut. Mengingat nyokap gue, jika ada sesuatu yang bisa membuat dia lupa main Pet Society, maka hal itu pasti teramat penting. Mencari rumah baru, adalah hal tersebut.
‘Emang apa susahnya sih nyari rumah, Ma?’ tanya gue, saat dia membuka website yang baru lagi.
‘Lah? Nyari rumah baru itu susah, Dika,’ katanya. ‘Salah-salah kita bisa nyesel, dan harus stuck sama rumah itu sepanjang hidup kita. Rumah yang kita tuju harus yang pas, yang match sama kita.’
Setelah sekian banyak pencarian terhadap rumah yang match tadi, kandidat pertama nyokap adalah sebuah rumah di perumahan daerah Kebagusan. Kemudian dia urungkan karena katanya di daerah yang dia incer masih agak rawan. Selanjutnya dia mendapati calon rumah di daerah Pondok Indah, yang juga dia urungkan karena ternyata rumahnya “gak kayak difoto”.
Setelah beberapa calon kuat dijajaki dan dipertimbangkan, pilihan nyokap jatuh kepada sebuah rumah di daerah Cipete. Kata Nyokap, ‘Keren banget, Dik. Tamannya nanti mama mau bikin gede. Kamu bisa berjemur setiap hari di rumah.’ Gue memasang wajah aneh, mengingat manusia normal di Jakarta tidak pernah berjemur di taman rumahnya setiap hari.
Di saat Nyokap sedang mencari rumah baru untuk kami, diam-diam, gue juga mulai mencari rumah dalam bentuk lain: hati yang baru. Secara kebetulan, urusan pindah rumah ini juga bertepatan dengan urusan pindah hati. Temen-temen gue langsung membantu gue agar urusan pindah hati ini bisa selesai dengan baik. Menurut mereka, cara paling gampang untuk sembuh dari patah hati adalah dengan mencari hati yang baru. Maka, ini yang gue lakukan. Gue mencari, orang mana yang akan jadi tempat berlabuh hati gue yang baru. Secara sederhana, gue berpikir, orang yang baru ini akan menjadi solusi terhadap patah hati yang baru gue alami.
Sama dengan Nyokap yang terobsesi untuk mencari rumah yang terbaik, gue juga terobsesi mencari “orang baru” terbaik. Gue minta dikenalin sama temen-temen gue, kali-kali aja mereka punya temen yang bisa dikenalin. Selama sebulan, gue di set-up sama temen-temen gue dengan orang yang mereka pikir bisa cocok dengan gue. Kencan buta, menjadi suatu hal yang biasa pada saat itu. Gue pergi nge-date dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang. Gue pergi dengan orang yang katanya bisa ngeliat hantu, sampai ke orang yang dari jauh mirip hantu. Selama tiga bulan gue banyak sekali ketemuan untuk ngopi dengan berbagai-macam cewek, walaupun biasanya abis ngopi gue langsung berpikir, ‘Kayaknya bukan ini deh.’
‘Lo mau yang kayak gimana lagi sih?’ tanya temen gue, yang udah kapok menjodohkan gue dengan temen-temennya. ‘Gak ada yang lo menurut lo pas. Lo kira lagi milih baju?’
‘Ya, gue kan harus cari yang match.’
‘Emang kriteria lo gimana sih?’
Lalu gue menjelaskan kepada temen gue, bahwa gue gak punya kriteria cewek yang baik buat gue seperti apa. Banyak contoh orang yang udah punya kriteria spesifik yang pada akhirnya jadian dengan orang yang sama sekali bertolak belakang. Ara, seorang teman gue yang jomblo, berkata bahwa dia mau cowok seorang drummer, rumahnya deket, dan suka lagu Britpop; pada akhirnya dia justru pacaran sama seseorang yang bekerja di perusahaan periklanan, rumahnya jauh, dan menggemari lagu-lagu classic rock. Seorang teman cowok, mencari yang beda umurnya lebih muda minimal lima tahun, malah berakhir dengan seseorang yang lebih tua dua tahun. Konsep true match mungkin tidak mengenal kriteria yang terlalu spesifik seperti ini, atau konsep true match tidak mengenal kriteria.
Setelah gue jelasin panjang lebar, temen gue merespon, ‘Mungkin masalahnya bukan karena lo gak ada kriteria, atau cewek-cewek yang gue kenalin gak ada yang cocok sama lo?’
‘Jadi apa dong?’ tanya gue.
‘Lo emang masih mentok sama mantan lo itu.’
Gue diem sebentar. Kalimat itu membuat gue agak berpikir lama. Bagaimana jika temen gue bener?
Jangan-jangan, selama ini,
hati gue masih belum mau untuk pindah.
*
Di antara anggota keluarga, Bokap sebenernya orang yang gak mau pindah rumah. Namun, Bokap enggak bisa menolak keinginan Nyokap untuk pindah rumah. Ini disebabkan karena gue hidup di sebuah keluarga di mana tingkat kekuasaan tertinggi dipegang oleh Nyokap. Kalau mau dibandingkan dengan sebuah negara, Nyokap adalah presiden merangkap panglima angkatan bersenjata tertinggi (dengan dua orang pembantu di rumah sebagai prajuritnya). Bokap, adalah menteri, jadi harus nurut sama presiden. Gue dan tiga orang adik gue yang cewek, adalah Walikota, Bu Lurah, Bu RW, dan Bu RT secara berurutan. Sementara Edgar, adik gue yang paling kecil, ada di tingkat kekuasaan paling bawah sebagai bencong lampu merah.
‘Papa enggak mau pindah, Dik,’ kata Bokap, dengan aksen Batak, kepada gue.
‘Yah, Papa tahu sendiri Mama kalau ada maunya pasti susah dilawan.’
‘Bener juga, Dik,’ kata Bokap, dengan mata nanar.
‘Emang kenapa, Pa? Kok gak mau pindah?’
‘Papa udah terlalu terbiasa di rumah ini.’
Bokap memang termasuk orang yang sangat attached dengan barang-barang miliknya. Mobil yang dia pakai adalah sebuah Nissan Terano tahun 2000. Mobil tersebut dia miliki dari mulai gue masih SMP, dan sampai sekarang, dia belum pernah menggantinya. Mobilnya sudah sangat tidak layak, dan bolak-balik masuk bengkel. Tapi tetap saja, bokap memakai mobilnya tersebut dengan bangga, karena katanya, terlalu banyak kenangan yang melekat pada mobil tersebut.
Sama dengan mobilnya tersebut, rumah ini, juga penuh dengan kebiasaan-kebiasaan bokap, dan bokap sudah terbiasa melakukan rutinitasnya di rumah ini. Setiap pulang ke rumah, misalnya, bokap ngaji di ruang makan, selalu di jam yang sama, di kursi yang sama. Selesai mengaji, bokap akan menonton TV di ruang keluarga, duduk di depan pintu, dan kalau sudah ngantuk duduknya akan semakin ke belakang, belakang, dan akhirnya tidur di lantai. Kadang kebiasaan ketidurannya di ruang TV ini bisa membuat pembantu histeris ketika pembantu tersebut hendak membersihkan ruang TV pagi-pagi dan menemukan Bokap gue dengan kepala terjulur dari balik pintu.
Salah satu kebiasaan Bokap di rumah ini yang menurut gue agak-agak ajaib adalah kebiasaan yang dia selalu lakukan begitu dia bangun tidur, yaitu senam kentut. Ya, bokap gue termasuk orang yang gila kesehatan, dan salah satu hal menurut dia rahasia dia belajar senam, yang berujung pada kentut.
‘Tiap pagi, ada gas di perut kita yang harus dipaksa keluar, kalau enggak, kita bisa sakit,’ kata dia menjelaskan ritual senam kentutnya. ‘Jadi, Papa harus kentut setiap pagi. Kentut itu sehat.’
Bokap lalu mereganggkan badannya, dan dengan beberapa gerakan tiduran di lantai, dengan muka mengendan hingga berwarna merah, dia kentut. Dia sempat menjelaskan asal-muasal gerakan dahsyatnya itu. Dia bilang, ‘Jadi, Papa dulu ikut Merpati Putih (sejenis aliran beladiri), lalu pemanasan Merpati Putih itu, karena dia memakai tenaga dalam, bisa membuat kita kentut. Papa lalu baca buku kesehatan tentang pentingnya kentut. Maka Papa membiasakan diri menggunakan gaya-gaya Merpati Putih untuk kentut.’
Ada sedikit rasa malu di dada gue sebenarnya, sementara orang-orang lain yang belajar jurus-jurus Merpati Putih bisa kita lihat di TV-TV menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan api, menghancurkan batu, atau menahan pedang… Bokap gue malah menggunakan jurunya untuk.. kentut. Merpati Putih adalah aliran bela diri yang dahsyat, dan satu-satunya Bokap gue bisa lakukan kalau ketemu perampok berpisau di jalanan adalah dengan mengentuti senjatinya.
Di rumah, tempat dia melakukan senam kentut bermacam-macam. Kadang di taman, kadang di depan kamar tidur, hampir semua penjuru rumah ini pernah dia kentuti. Kecuali di dapur, karena ketika Bokap hendak senam kentut di sana, Nyokap selalu bilang, ‘Papa tega, meracuni makanan anak-anak kita?’
Kebiasaan ritual senam kentut ini pun mengundang kebiasaan lain: dia selalu melakuaknnya di pagi hari, dengan baju yang sama: atasan kaos oblong dan celana training putih. Urutan gerakannya sama: dia akan tiduran di lantai, badan menghadap atas, dengan muka penuh amarah dan ngeden sekuat tenaga ‘Hmmmph!’ Urat-urat mukanya terlihat, mukanya menunjukkan usaha keras yang amat sangat, lalu setelah usaha beberapa menit, akan terdengar suara lemah.. ‘Dut.’ Dia berhasil kentut. Terkadang, kalau lagi kuat banget, kentut Bokap akan berentet seperti semacam senapan mesin yang terbuat dari daging: ‘Dudududududududududut.’ Kadang sakit kuatnya, pinggul Bokap sempet ngangkat-ngangkat sendiri, mungkin karena tekanan angin dari bawah yang mementalkan tubuhnya. Kalau sudah begitu, Bokap akan terkulai lemah, selama beberapa menit, mungkin beberapa persen sari-sari kehidupannya ikut keluar dengan kentut yang terbuang.
Bokap enggan pindah rumah karena ini. Dia merasa bahwa kebiasaan-kebiasaan yang sudah dia lakukan sedari dulu, melekat dengan rumah ini. Rasanya akan beda kentut di rumah yang baru. Mungkin, dia akan sangat susah sekali kentut, karena lingkungannya yang beda tersebut. Bokap terlalu attached dengan rumah ini, sehingga mau sebagus apa pun rumah yang baru, rumah yang lama akan terlihat lebih nyaman. Ini adalah ilusi sebuah kepindangan: kadang, tempat yang baru dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap kenangan di tempat yang lama.
Hal yang sama juga gue perhatiin dengan urusan pindah hati. Gue masih attached dengan diri dia yang lama, dengan kebiasaan yang melekat pada diri dia. Seperti Bokap gue yang terbiasa senam kentut di pagi hari, gue terbiasa untuk menelpon dia ketika baru aja bangun. Gue terbiasa untuk tidak tidur sebelum mendengarkan suaranya lagi. Gue terbiasa untuk gandengan di mallsetiap Sabtu malam. Gue terbiasa dengan semua kebiasaan ini.
Seperti Bokap gue juga, masih attched kenangan kita yang lama, yang gue masih belum bisa ngelupain. Melupakan sesuatu memang tidak mudah. Dalam kasus gue, salah satu hal yang menjengkelkan adalah kenangan-kenangan yang menempel pada tempat kita pacaran dulu. Café tempat kita pertama bertemu tidak pernah lagi terasa sama. Tempat pertama kali nge-date, event yang secara rutin kita lalui, semua tempat-tempat itu seperti menempel dengan kenangan akan orang yang coba kita lupakan. Perjuangan untuk pindah adalah perjuangan untuk melupakan. Kadang gue mikir gue bisa dengan gampang ngelupain hal-hal yang remeh: janjian sama orang, tugas kuliah, atau ulang tahun seorang teman. Kadang, gue pengen kemampuan gampang lupa ini juga bisa berlaku pada hal-hal yang penting.
Di saat ini gue berusaha untuk paham: untuk bisa pindah ke hati yang baru, untuk menemukan true match, gue harus melupakan dulu yang lama. Tapi, bagaimana caranya?
Pindah part 3
Kita sekeluarga akhirnya pindah ke sebuah rumah di Cipete. Nyokap menemukan rumah tersebut dari hasil pencarian yang cukup panjang dan lama. Rumah yang baru itu kira-kira luasnya 250 m2, dengan taman di belakang. Masing-masing adik gue punya kamarnya sendiri. Kamar yang paling besar diklaim oleh Yudhita, adik gue yang paling besar. Sedangkan kamar yang paling kecil, didiamin oleh Edgar. Kamar gue sendiri berada di lantai dua. Sebelum gue pindah ke sana dan actually melihat seperti apa bentuk kamarnya, nyokap selalu membesar-besarkan kamar ini, dia bilang, ‘Gila Dik, kamar kamu besar banget lho di rumah yang baru!’
‘Oh ya?’ tanya gue, agak sedikit gak yakin. Gue tahu banget nyokap gue, dan dia sering banget membesar-besarkan hal yang tidak penting.
‘Yaaa.. gak besar-besar sih, tapi cukup besar lah buat kamu sendiri.’
‘Oh ya?’ tanya gue, lagi.
‘Yaaaaa, gak cukup besar juga  sih buat kamu sendiri, tapi buat tidur sama kerja sih cukup.’
‘Oh ya?’
‘Yaaaaaaa.. cukup lah buat tidur aja sih. Kerja atau nulis kan bisa di cafe.’
Sampai di sini gue memutuskan untuk tidak bertanya lagi soal kamar, takut tiba-tiba yang keluar dari mulut nyokap adalah, ‘Yaaaa, gak cukup besar buat tidur sih. Tapi cukup lah untuk berdiri...’
Sesampainya gue di rumah yang baru, ternyata nyokap melupakan satu detil yang belum dia ceritakan pada gue, yaitu kamar gue yang baru dulunya bekas kamar anak kecil. Begitu gue menginjakkan kaki di kamar tersebut, hal pertama yang gue lihat adalah wallpaper kamar gue bergambar Winnie The Pooh megang balon. Ya, gak cuman Winnie The Pooh si beruang madu imut kegemaran anak kecil, tetapi beruang tanpa celana tersebut juga harus  memegang balon.
Di malam pertama gue pindah rumah yang baru, gue mencoba tidur di kamar dengan wallpaper Winnie The Pooh tersebut. Hasilnya, gue gak bisa tidur semaleman. Ada rasa yang asing yang gue rasain di kamar itu. Gue termasuk orang yang susah tidur di tempat yang tidak biasa, dan kamar yang baru ini, adalah salah satu contoh yang baik. Semaleman gue bolak-balik badan, mencoba untuk tidur. Segala cara udah gue lakuin, dari mulai mendengarkan musik-musik jazz yang lembut, sampai kepada meditasi kecil-kecilan. Hasilnya, tetep gue gak bisa tidur. Kamar ini terasa terlalu asing untuk ditiduri, dan gue gak terlalu suka untuk ngerasa seperti itu.
Tidak cukup dengan kamar yang kecil dan kekanak-kanakan tersebut, rumah yang baru ini juga punya masalah sama listrik. Mungkin karena pemilik lamanya lupa mengurusi rumah, atau alasan yang lainnya, listrik di rumah ini sering mati. Gue sering lagi nonton film-film komedi di DVD player, dan sering sekali setiap kali gue lagi ketawa-ketawa nonton, tiba-tiba listrik mati. Hal ini menyebabkan gue jadi terbiasa untuk nonton yang diiringi tertawa dengan erangan yang berbunyi ‘HahahahahAAARGGGHHH!!!!!’
Masalah lain juga muncul di kamar gue yang baru ini. Suatu pagi gue terbangun dengan bantal yang basah, dengan bekas genangan air tepat di sekeliling kepala gue. Pertama-tama gue berpikir jangan-jangan gue ngences pas lagi tidur, setelah gue berpikir bahwa air liur manusia normal tidak mungkin sebanyak itu sampai membuat bantal gue basah, jadi buru-buru gue hapus teori tersebut. Gue sempet bilang ke nyokap, ‘Ma, kok bangun-bangun kok bantal basah ya?’
‘Ah, Dika. Kamu ngompol kali! Hihihi!’ kata Nyokap.
Karena gue gak mungkin pipis dari kepala, jadi teori nyokap juga tidak berlaku. Setelah beberapa hari berturut-turut bangun dengan bantal basah, gue akhirnya menemukan penyebabnya, langit-langit kamar gue ternyata bocor. Lengkaplah sudah penderitaan.
Rumah ini sama sekali bukan
*
Di masa ini pula gue udah enggak mentok sama pacar gue yang lama, dan mulai membuka hati kepada orang lain. Di masa ini juga, gue kenal dengan Vani. Pertemuan gue dengan Vani di mulai dari perjodohan yang dilakukan oleh Sasha, temen gue, kepadanya. Temen gue ini nampaknya punya obsesi jadi Mak Comblang, jadi dia kadang terlalu bersemangat menjodohkan gue dengan Vani. ‘Orangnya, gue lihat, cocok banget sama lo, Dit. Lo orangnya lucu, dia juga gila banget jadi orang.’
‘Masa sih? Gue udah berapa kali kenal sama orang, tapi kok gak pernah bisa nemu yang cocok ya.’
‘Kriteria lo kebanyakan kali,’ kata temen gue. ‘Lo tuh ya, udah jelek, kriterianya juga kebanyakan, jadinya gak bakal ketemu yang pas deh.’
‘Wajar kali kalo punya banyak kriteria, kita kan emang pengen yang terbaik buat diri kita, kan?’ tanya gue balik, membela diri.
Gue selalu berpendapat, semakin tua seseorang, akan semakin susah orang tersebut untuk menemukan true match-nya. Gue gak tau kenapa. Kecurigaan gue yang utama adalah dengan semakin banyaknya kriteria kita untuk orang yang akan menjadi pasangan kita. Sewaktu kecil dulu, kriteria yang ada hanya satu: dia suka sama gue. Kriteria yang ada di umur-umur gue, sekitar dua puluh lima tahunan, adalah: dia suka sama gue, kerjaannya mesti bagus, lulusan universitas yang bagus, keluarganya juga harus cocok sama keluarga gue, sampai kepada agamanya harus sama.  Kadang, kita juga kenal dengan orang baru untuk membuktikan apakah kriteria-kriteria ini berlaku di orang tersebut. Dan kadang, kita bisa saja salah.
‘Lo harus ketemu Vani, untuk ngebuktiin bahwa kriteria lo itu cuman membatasi lo untuk menjadi bahagia,’ kata Sasha.
‘Oke deh. Set me up,’ kata gue, merasa tertantang.
Selajutnya, gue ngopi sama Vani di suatu hari Sabtu yang mendung. Kita duduk berdua, ngobrol, tanpa ada ekspektasi satu sama lain. Vani datang ke sana karena dipaksa oleh Sasha, begitu pun dengan gue. Kami dipertemukan karena sebuah keterpaksaan. Di saat kita duduk berdua, juga tidak terlihat hal-hal yang nyambung. Vani adalah seorang adventurer, petualang, dia suka bungee jumping, dia suka mencoba hal-hal ekstrim. Sementara gue, naik Istana Boneka di Dufan aja udah muntah-muntah. Vani juga orang yang suka di luar rumah, berpergian ke mana-mana. Sementara gue, hari ideal buat gue adalah hari di mana gue gak ngapa-ngapain, cuman tidur aja seharian di rumah, sambil sesekali baca buku. Dengan begini semua sudah jelas: Vani, sama sekali tidak masuk kriteria gue. Begitu pula sebaliknya: gue, tidak masuk dengan kriteria Vani. First date yang kita alami mungkin first date paling tidak cocok yang pernah kita sama-sama alami dalam sejarah pencarian pacar kita berdua.
Selama tiga minggu gue tidak ketemu dengan Vani lagi. Dia melanjutkan hidupnya seperti biasa, gue pun juga. Kita sama-sama berpikir bahwa apa yang terjadi di first date kemarin mungkin hanyalah bad idea dan kita sama-sama malu untuk itu. Hingga pada akhirnya gue ketemu lagi dengan Vani di Bandung, di sebuah acara yang gue hadiri. Gue datang sebagai undangan sebuah cafe yang baru saja dibuka, dan dia datang sebagai teman pemilik cafe tersebut. Karena gak tau mau ngobrol sama siapa, gue akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu, ngobrol sama dia saja. Berbeda dengan apa yang kita alami sewaktu first date, sekarang actually we had fun. Mungkin sekarang beban first date sudah tidak ada lagi, ketimbang pas kita ketemu pertama kali, yang sama-sama terbebani oleh kewajiban untuk membuat Sasha merasa kita berdua cocok, yang ternyata justru membuat kita merasa tidak cocok.
Semakin lama, gue semakin dekat dengan Vani. Di suatu waktu gue berpergian dengan Vani, gue sempet mampir ke rumah untuk mengambil jaket. Dia lalu turun, katanya mau ketemu pertama kali dengan adik-adik gue.  Dia menunggu di ruang tamu, sementara gue ke kamar mengambil jaket. Sebelum kita kembali ke mobil, dia sempet bilang, ‘You know, this is really a nice house.’
‘Pffft. Lo gak tau, gue gak suka banget sama rumah ini. Apalagi kamar gue.’
‘Kenapa?’
‘Langit-langit bocor, wallpaper kamar gue Winnie The Pooh pula.’
Dia sempet ketawa sebentar, lalu dia mengaku, ‘Gue suka banget Winnie The Pooh lho. Lo emang gak pernah nonton kartunnya? Apa bukunya? Itu gak terlalu anak-anak banget ah. Dan semua karakternya lucu-lucu.’
‘Masa sih?’ tanay gue, gak percaya.
‘Lagian, langit-langit bocor kan juga bisa dibenerin, repot amat gitu doang,’ kata dia, ngeledek.
Gue lalu buru-buru ngajak dia pergi keluar.
Malam itu, karena tidak tahu mau pergi ke mana, kami berdua lalu pergi ke Bandara Soekarno-Hatta, ke Terminal 3. Di situ, kami dudu di parkiran, di atas kap mobil, ngeliatin pesawat yang terbang satu per satu. Setiap kali ada pesawat yang lewat, kami foto dan berlomba untuk mengadu gambar siapa yang paling bagus. Malam itu, kami juga cerita banyak soal masa depan, masa lalu, dan apa yang kita lagi kejar sekarang.
‘This is fun,’ katanya.
‘Ya,’ kata gue. ‘This is fun.’
Gue lalu meminta orang ke rumah untuk membenarkan langit-langit kamar yang bocor. Sekarang kamarnya sudah tidak bocor lagi. Wallpaper-nya? Ternyata, setelah gue pikir-pikir, punya wallpaper Winnie The Pooh gak ada salahnya kok. Gue ternyata betah sama rumah ini. Gue jadi bisa ngeliat apa yang tadinya tidak bisa gue lihat. Gue lalu mulai membandingkan dengan rumah yang lama. Rumah yang lama tidak punya taman, yang sekarang punya. Alfa, kucing persia gue, yang pas awal kepindahannya takut-takut keluar dari kandang untuk mejelajahi rumah yang baru, sekarang tiap pagi punya ritual khusus. Tiap pagi di akan ke taman untuk berjemur, lalu siang masuk lagi ke kandang. She look like enjoying every moment di rumah yang baru ini.
Beberapa malam kemudian, gue pulang ke rumah setelah mengantarkan Vani ke rumahnya. We had great time, as usual. Kali ini kenyamanan yang gue rasain. Kadang, ada keheningan di sela kita ngobrol, karena kita enggak tahu apa lagi yang mau kita omongin. Tapi, kali ini, ada kenyamanan di antara keheningan itu. Seolah-olah gak apa-apa untuk tidak tahu ngomong apa-apa. Dan itu, rasanya, nyaman sekali.
Begitu gue masuk ke dalam rumah, menaruh kunci mobil di tempat biasa, Nyokap keluar dari kamarnya. Dia bertanya, ‘Baru pulang?’
‘Iya.’
‘Malem banget, Dik,’ kata nyokap.
‘Abis pergi, Ma. Baru pulangnya jam segini.’
Dia lalu bertanya, ‘Gimana, Dik? Kamu cocok gak?’
Gue nanya, ‘Cocok?’
‘Iya, sama rumah ini. Cocok gak?’
‘Oh, cocok, Ma.’ Gue lalu naik ke kamar. ‘Sekarang jadi cocok.’
Di kamar, gue melihat nama Vani di Blackberry Messenger. Sudah ada pesan dari dia, ‘Thanks for another good day with you.’ Gue menghela napas, memandangi langit-langit kamar yang sudah dibetulkan. Gue lalu berpikir, perjalanan menemukan true match seperti menemukan rumah yang cocok. Because, in the end, our true match adalah orang yang terasa seperti rumah: orang itu memberikan kita shelter, comfort, and protect you during rainy days.
Dan gue sangat berharap akan lama betah di rumah yang baru ini.
Di kedua rumah yang baru ini.
Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar