Pindah
Satu
jam setelah putus cinta, gue dapet kabar kami sekeluarga akan pindah
rumah. Waktu itu gue baru saja sampai rumah, pulang dari sebuah café, di
mana di sana gue abis diputusin oleh pacar gue selama tujuh bulan.
Setelah menaruh kunci mobil dan duduk menghela napas di ruang makan,
nyokap keluar dari kamar tidurnya. Dia menghampiri gue dengan mata
berbinar-binar, berbeda dengan mata gue yang sendu dan redup, mata orang
yang baru mendengar kata-kata “kayaknya kita emang gak cocok”.
Ada
bahasa tubuh khas nyokap ketika dia sedang ingin mengucapkan kabar
gembira: jalannya agak loncat-loncat kecil, poninya sedikit
terkibas-kibas, dan alisnya naik turun. Nyokap terlihat seperti Dora The
Explorer kebelet gaul. Dia lalu membuka mulutnya, setengah berteriak,
‘Kita pindah rumah bulan depan! Yaay!’
‘Pindah… apa yang pindah?’ tanya gue.
‘Iya, Dika,’ kata Nyokap sambil menepuk pelan pundak gue.‘Kita bakalan pindah rumah!’
‘Oh… Ya udah.’
‘Kok “oh ya udah”? Kamu dengerin apa kata mama gak sih, Dika? Kita pindah bulan depan!’
Jelas, dia tidak tahu apa yang sedang gue pikirkan di kepala gue.
‘Oh, iya. Asik. Pindah,’ jawab gue, datar.
‘Hidih. Kamu gak bisa diajak bicara nih,’ kata nyokap gue, sewot.
Sejujurnya, gue sedang tidak bisa diajak bicara, karena, well, gue baru aja putus. Satu-satunya ajakan Nyokap yang bisa gue turutin mungkin nonton Titanic bareng sambil ngabisin tissue pas adegan Leonardo di Caprio bilang ke Kate Winslet, ‘You jump, I jump’, dan saat nonton adegan itu, mungkin gue bakal menjerit, ‘Kenapa kamu gak jump juga kayak Leonardo, sayang? Kenapa kamu malah jump sendirian?’
‘Dika!
Kamu dengerin mama gak sih?!’ tanya nyokap, membuyarkan lamunan gue
yang kalau diteruskan mungkin akan semakin kebanci-bancian. ‘Muka kamu
kok kusut banget, kamu abis darimana sih?’
Gue memilih untuk tidak menjawab.
‘Kok kamu diem aja, mata kamu kosong. Mata kamu kosong, Dika! Kamu mabuk ya? Abis party ya?!’
Nyokap memang orangtua yang curigaan.
‘Aku abis putus, Ma,’ kata gue, pelan.
‘Sama si anu?’ tanya nyokap, tidak menyebutkan namanya. ‘Si anu itu, Dik?’
‘Iya, si anu.’
‘Ya
ampun, kamu putus sama si anu?!’ Kalau ada orang yang gak ngerti
apa-apa mendengarkan pembicaraan kita berdua ini mungkin dia mengira gue
habis diputuskan oleh alat kelamin seseorang.
Gue mengangguk.
‘Lah kenapa kamu bisa putus sama dia, Dik? Anaknya kan baik?’ tanya nyokap.
Gue menjawab dengan jawaban yang paling jujur, ‘Yah, karena gak cocok.’
‘Udah gitu doang?’
‘Udah gitu doang.’
Nyokap mungkin membutuhkan jawaban dramatis lain seperti di tayangan reality show yang sering dia tonton: ‘Aku putus, Ma. Dia tahu aku simpenan janda.’
‘Pasti kamu yang salah,’ kata nyokap.
‘Mungkin,’ jawab gue. ‘Mungkin juga dia yang salah. Atau kita yang sama-sama salah.’
Di
tengah-tengah pembicaraan kita, Bokap gue masuk dari garasi. Dia
terlihat seperti orang yang baru pulang dari kerja, dengan kemeja yang
sudah tidak dikancingkan, sehingga kaus oblongnya yang putih terlihat
secara jelas. Dia menggarukkepalanya, ‘Ada apa, Ma?’
‘Ini, si Dika,’ kata nyokap. ‘Dia putus lagi.’
‘Hah? Lagi? Makanya, Papa sudah bilang sama kau,’ kata bokap, selalu dengan aksen Bataknya. ‘Pasti kamu yang bikin salah lagi.’
‘Salah gimana?’ tanya gue.
Bokap melanjutkan, ‘Kan sudah papa berulangkali kasih tahu, kalau kau sayang sama orang kau tunjukkan.
Papa rasa kau itu kurang sayang sama pacar-pacar kau. Nih, Papa kasih
tahu ya. Kalau dia pergi sama kamu, kamu yang bukain pintu dong. Kalo
kamu lagi nyetir, terus dia bersin, kamu panasin AC-nya. Kalau dia
bawaannya banyak, kamu bawain bawaannya.’ Sampai sejauh ini gue
berpikir, sepertinya bokap gue agak ketuker antara supir dengan pacar.
Gue diem aja.
Bokap melanjutkan, ‘Udah, kamu cuci muka, mandi sana. Jangan kau sedih-sedih lah. Masih banyak ikan di laut. Hahaha!’
‘Kita
pindah rumah bulan depan lho,’ kata nyokap, ‘Jangan lupa. Kamu kan
sibuk, biar gak ribet kamu beres-beres mulai sekarang ya.’
Gue
lalu melirik ke arah nyokap, lalu menanyakan pertanyaan yang seharusnya
gue tanyakan dari awal, ‘Tapi kenapa harus pindah sih emangnya?
Bukannya rumah ini baik-baik aja?’
‘Dika,
Dika, Dika,’ kata Nyokap. Dia menggelengkan kepalanya. ‘Rumah ini udah
terlalu sempit buat kita, Dika. Adik-adik kamu udah pada gede semuanya,
mama ngerasa keluarga kita udah jadi terlalu besar untuk rumah ini. Kita
tumbuh lebih besar daripada rumah ini. Jadi kita harus pindah.’
Bokap
dan Nyokap berbarengan masuk kamar, meninggalkan gue sendirian. Tidak
lama, gue berdiri, berjalan ke arah dapur dan mencuci gelas bekas hot chocolate yang barusan gue minum.
Mungkin
itu masalahnya, pikir gue. Seperti rumah ini yang jadi terlalu sempit
buat keluarga ini, gue juga menjadi terlalu sempit buat dia.
Dan ketika sesuatu sudah mulai sempit dan tidak nyaman, saat itulah
seseorang harus pindah ke tempat yang lebih luas dan cocok untuk
dirinya. Rumah ini tidak salah,kita tidak salah. Yang salah adalah kalau
dua hal tersebut tetap bersama-sama.
Sama seperti gue dan dia.
Dan dia, memutuskan untuk pindah.
*
Seminggu
setelah Nyokap memberitahu kita bakalan pindah rumah, hidup gue diisi
dengan memasukkan barang-barang di kamar ke dalam boks-boks. Di
film-film digambarkan ketika kita akan meninggalkan dunia ini maka
kenangan-kenangan hidup kita akan muncul bergantian secara kronologis,
dari yang baru terjadi hingga ingatan yang paling jauh. Sama halnya
dengan ketika gue akan meninggalkan rumah ini. Seiringan dengan gue
merapikan barang-barang masuk ke dalam boks pindahan, kenangan-kenangan
yang aneh-aneh di rumah ini puntimbul seperti gue mergokin adek gue
kencing di wastafel atau sewaktu dapur rumah gue hampir kebakaran.
Gue
jadi inget pertama kalinya rumah ini kerampokan. Pagi itu, mobil lagi
parkir di luar rumah, siap untuk mengantarkan adek gue pergi
sekolah.Entah dari mana, datang empat orang, salah satunya membawa
senjata api. Supir gue cuman bisa teriak ‘Maling!’, dan mobil gue dibawa
pergi oleh salah satu dari mereka. Bokap, yang sadar apa yang terjadi,
langsung keluar rumah bawa-bawa bambu dari garasi, untuk menghajar
perampok tersebut. ‘Bang Dika! Ada perampok di depan rumah! Kita kejar
mereka!’ teriak bokap pagi itu. Gue, yang waktu itu lagi mandi, cuman
bisa ngibrit sambil bawa shampoo sebagai senjata. Yah, paling enggak kalo ketemu perampoknya, setidaknya gue bisa ngebuat matanya perih.
Gue
inget kecelakaan pertama gue di rumah ini. Waktu itu, lagi malam Jumat
Kliwon. Di malah yang katanya setan-setan pada keluar, gue berencana
ngagetin pembantu yang tidur di kamarnya. Malem-malem, gue ngebungkus
badan dengan seprei warna putih, sok-sok jadi pocong (tanpa make up,
karena muka gue dari sananya udah serem). Gue berdiri di depan pintu
kamar pembantu. Perlahan-lahan gue loncat di depan kamarnya, yang
setengah terbuka.
‘Hiii,’ kata gue, sambil melompat.
Pembantu
gue ngeliat, tapi bukannya jerit ketakutan, dia malah histeris, dan
secara reflek ngambil tempat sampah yang ada di dekatnya, memukuli
kepala gue bertubi-tubi sambil menjerit, ‘AAAH! AAAH!’. Jeritan dia,
tertutup dengan jeritan gue. Setelah belasan hantaman, gue jatuh dari
tangga. Sukses memar… dan bau sampah.
Gue
inget kematian pertama yang ada di rumah ini, yang datang dari tiga
ekor kucing Siam yang kita pelihara yang mati gara-gara dimandiin
pagi-pagi. Gue inget pernah nongkrong di balkon kamar sambil main gitar.
Gue inget mantan pacar gue pernah bikin surprise, bawain kue gede
banget, jam dua belas malam. Gue inget, mantan pacar yang lain pernah
membuat surprise yang serupa, beserta dengan adik-adik gue yang
melemparkan tepung. Gue inget, gue harus cuci muka setelahnya, karena
ada tepung yang masuk-masuk ke muka.
Sepotong-sepotong flashback
ini muncul, semakin lama semakin banyak. Sepuluh tahun tinggal di sini
memang waktu yang lama untuk punya banyak cerita. Sama seperti di
film-film itu, ketika flashback masa lalu kita terlintas di
depan mata, kenangan yang paling kuat terlihat adalah ketika kita masih
kecil. Ingetan terjauh gue di rumah ini adalah sewaktu gue pun pertama
kalinya tidur di rumah ini.
Ketika
gue lagi beres-beres kamar, Nyokap masuk ke dalam. Dia melihat berbagai
macam boks di segala penjara rumah, dan bertanya, ‘Kamu perlu boks lagi
gak, Dik?’
‘Enggak, ini bentar lagi juga beres kok, Ma,’ kata gue.
Nyokap
duduk di pinggir kasur gue. Dia melihat seisi kamar, lalu berkata,
‘Akhirnya kita pindah rumah juga ya? Setelah selama ini tinggal di
sini.’
‘Iya.’
‘Mama jadi kepikiran deh.’ Nyokap manggut-manggut, matanya menerawang. ‘Kamu inget gak sih, pertama kali kita tinggal di sini?’
Gue
mengangguk.Waktu itu pertengahan Maret tahun 1999, sewaktu gue masih
SMP. Malam itu, gue tidur sendirian di kamar gue di lantai dua.
Adik-adik sama nyokap semuanya ada di lantai satu. Seperti lazimnya
orang yang baru pindah ke suasana yang baru, gue susah tidur. Gue
tidur-tiduran, menunggu ngantuk yang enggak dateng-dateng. Segala cara
udah gue lakukan untuk bisa tidur, dari mulai dengerin musik slow, sampai ke ngitung domba (yang akhirnya gagal, karena gue malah jadi gak bisa tidur dan lapar).
Gue masih inget bau khas rumah
baru malam itu: ada campuran dari bau cat yang baru saja kering, kayu
basah, dan lembab malam. Baunya menusuk, seperti dipaksa untuk dicium.
Bau yang menemani gue susah tidur.
Di
antara bunyi detikan jam, pintu kamar di ketok. Gue diam sebentar,
memastikan bahwa ada orang yang mau masuk. Pintu kamar diketok lagi, dan
gue mempersilakan orang masuk. Nyokap gue, memakai daster, membuka
pintu.
‘Kok kamu belum tidur?’ tanya nyokap. ‘Udah jam 11 lho.’
‘Iya, belom, Ma.’ Gue bangun dari tempat tidur, dan duduk di pinggir. ‘Ini lagi nyoba.’
Nyokap memandangi ke arah kamar gue. Dia diam sebentar, tersenyum, lalu bertanya, ‘Kamu takut ya? Makanya belom tidur?’
‘Enggak kenapa harus takut?’
‘Ya, siapa tahu rumahnya ada hantunya, hiiiiii..’ kata nyokap, mencoba menakut-nakuti.
‘Enggak takut, Ma,’ jawab gue.
‘Kikkikikiki.’ Nyokap mencoba menirukan suara kuntilanak, yang terdengar seperti ABG lagi mabuk alkohol sewaktu hendakphotobox. ‘Kikikikikiki.’
‘Aku enggak ta-‘
‘KIKIKIKIKIKIKIKI!’ nyokap makin menjadi.
‘Ma,’ kata gue. ‘Kata orang, kalo kita malem-malem niruin ketawa kuntilanak, dia bisa dateng lho.’
‘JANGAN NGOMONG GITU, DIKA!’ Nyokap sewot. ‘Kamu durhaka ya nakut-nakutin orang tua kayak gitu! Awas ya kamu, Dika!’
Lah, ini tadi yang nakut-nakutin siapa, yang ketakutan siapa.
‘Ya udah deh, aku tidur dulu,’ kata gue.
‘Mama ke bawah, deh!’ seru Nyokap, lalu menutup pintu kamar gue.
Hening.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu kamar gue lagi.
‘Kamu
jangan takut ya, Dika,’ kata nyokap, dengan muka terlihat di di samping
pintu kamar yang setengah terbuka.‘Adek-adek kan semua tidur di bawah
sama Mama. Lampu lantai dua semuanya udah mati. Tangganya aja gelap.
Jangan takut ya. Mama turun ke bawah ya.’
‘Iya iya,’ kata gue, yang memang tidak takut.
Gue menghela napas, dan memandangi langit-langit kamar kembali.
Nyokap menutup pintu.
Hening.
Beberapa detik kemudian, kepala Nyokap kembali nongol dari balik pintu. Dia bilang, ‘Dik, kamu enggak aus?’
Gue menggelengkan kepala. ‘Enggak, kenapa, Ma?’
‘Yakin gak aus? Coba kamu rasain dulu, kamu aus kali..’
‘Enggak kenapa, Ma?’
‘Pasti kamu aus, di bawah ada minum. Kalau mau turun, sekalian aja sama Mama.’
‘Mama… takut turun tangga sendiri ya?’ tanya gue.
‘Gara-gara
kamu, Dika cerita soal kuntilak! Durhaka kamu ya!’ Nyokap sewot. Gue,
setengah malas, nemenin nyokap ke bawah. Tangannya mencengkram bahu gue
erat.Malam pertama di rumah ini, ditandai dengangue nemenin nyokap turun
tangga. Bahkan, sampai sekarang, nyokap masih takut turun tangga
sendiri malem-malem dari lantai dua.
Sambil
membereskan baju-baju, gue menceritakan ulang kejadian pertama kali di
rumah ini barusan kepada dia. Dia langsung membantah mati-matian. ‘Mana
mungkin mama sepenakut itu?!’
‘Ya emang begitu,’ kata gue, kalem.
‘Eh, kamu udah bilang belum ke si anukalau kamu mau pindah rumah?’ tanya nyokap.
‘Udah sih, dia udah tau,’ kata gue.
Gara-gara
Nyokap bertanya seperti itu, sambil memasukkan barang-barang ke dalam
boks, gue jadi kepikiran tentang dia. Ada perasaan yang sama antara
sehabis putus dengan pindah rumah. Keduanya sama-sama harus meninggalkan sesuatu
yang familiar dengan diri kita. Keduanya sama-sama memaksa kita untuk
mengingat-ingat kenangan yang ada sebelumnya, disadari atau tidak.
Dipaksa atau tidak.
Putus
cinta sejatinya adalah sebuah kepindahan. Bagaimana kita pindah dari
satu hati, ke hati yang lain. Kadang kita rela untuk pindah, kadang kita
dipaksa untuk pindah oleh orang yang kita sayang, tapi, ujung-ujungnya
sama: kita harus bisa maju ke depan, meninggalkan apa yang sudah menjadi
rumah kosong.
Sama
seperti memasukkan barang-barang ke dalam boks, gue juga harus
memasukkan kenangan-kenangan gue dengan orang yang gue sayang ke dalam
semacam boks kecil. Dan sama ketika kita baru putus, kenangan yang
timbul paling kuat adalah yang paling awal. Seperti halnya gue inget
nyokap yang minta ditemenin di hari pertama pindah, gue inget sewaktu
kita awal-awal ketemu dulu, awal yang kayaknya begitu menyenangkan. Gue
inget bagaimana kita bertemu secara tidak sengaja. Gue inget pertama
kali kita berantem, yang dulu gue anggep sebagai suatu hal yang lucu.
Lalu, gue inget bagaimana kita pertama kali baikan, dengan dua
kelingking yang saling mengait dan sama-sama mengaku bahwa kita yang
salah. Gue inget waktu gue masih ngebawain dia makanan. Gue inget, dia
membawakan gue makanan. Gue inget, suatu malam di kamar sendirian,
dengan kepala penuh pertanyaan: siapa yang salah? Apa yang salah? Ya,
sudahlah. Tapi bagaimana pun juga, kenangan-kenanganyang memaksa untuk
diingat itu harus dipaksa masuk ke dalam kotak.
Nyokap kembali membuyarkan lamunan gue dengan bertanya, ‘Kamu udah siap belum, Dik, buat pindah?’
Gue berhenti sebentar memasukkan beberapa buku ke dalam boks. Gue melihat Nyokap sebentar, lalu mengangguk pelan.
Lalu dengan ini, perjalanan panjang pindah ke rumah baru,
dan hati yang baru,
dimulai.
Pindah (part 2)
Semakin hari, Nyokap semakin excited untuk pindah rumah. Rumah kita yang lama sudah siap untuk dikosongkan, tapi satu detil yang Nyokap lupa: dia belum tahu mau pindah ke mana.
Nyokap memang orangnya sangat impulsif, dia sering membuat keputusan
cepat, tanpa pikir panjang, dan perencanaan yang matang. Karena udah
terlanjur mantep pengen pindah, Nyokap memberi waktu kami untuk
beres-beres rumah selasa satu bulan, sambil dia berburu rumah yang pas.
Maka,
obsesi Nyokap atas pencarian rumah baru pun di mulai. Tabloid gossip
yang biasa dia beli sekarang berganti dengan tabloid semua tentang
rumah. Hasil membaca bahan yang segitu banyak berdampak sistemik, di
kepalanya hanya ada satu hal: rumah. Pembicaraan dia pun jadi
nyerempet-nyerempet ke rumah. Bahkan ketika dia menasehati adik gue, dia
ngomongnya dengan hal yang berhubungan dengan rumah: ‘Kamu ya, Edgar.
Dikasih tahu Mama gak pernah nurut. Ibarat lantai, kamu itu kayak marmer
yang harusnya dipoles, tapi sengaja kamu biarkan kotor. Kamu tahu apa?
Jangan-jangan kalau kamu besar nanti kamu bakalan jadi kontraktor yang
mengambil uang klien dari Rancangan Anggaran Biaya!’
Selain membaca, dia juga aktif mencari
rumah di mana-mana. Nyokap pergi ke agen, baca iklan rumah tiap hari,
dan waktunya paling lama dia habiskan dengan melihat website tempat
orang jualan rumah.
‘Mama jadi keasyikan buka website jualan rumah, Dika,’ kata nyokap sambil membuka halaman demi halaman website. ‘Sampai-sampai, sekarang Mama jadi lupa ngurusin Pet Society Mama lagi.’
Gue
manggut-manggut. Mengingat nyokap gue, jika ada sesuatu yang bisa
membuat dia lupa main Pet Society, maka hal itu pasti teramat penting.
Mencari rumah baru, adalah hal tersebut.
‘Emang apa susahnya sih nyari rumah, Ma?’ tanya gue, saat dia membuka website yang baru lagi.
‘Lah? Nyari rumah baru itu susah, Dika,’ katanya. ‘Salah-salah kita bisa nyesel, dan harus stuck sama rumah itu sepanjang hidup kita. Rumah yang kita tuju harus yang pas, yang match sama kita.’
Setelah sekian banyak pencarian terhadap rumah yang match tadi,
kandidat pertama nyokap adalah sebuah rumah di perumahan daerah
Kebagusan. Kemudian dia urungkan karena katanya di daerah yang dia incer
masih agak rawan. Selanjutnya dia mendapati calon rumah di daerah
Pondok Indah, yang juga dia urungkan karena ternyata rumahnya “gak kayak
difoto”.
Setelah
beberapa calon kuat dijajaki dan dipertimbangkan, pilihan nyokap jatuh
kepada sebuah rumah di daerah Cipete. Kata Nyokap, ‘Keren banget, Dik.
Tamannya nanti mama mau bikin gede. Kamu bisa berjemur setiap hari di
rumah.’ Gue memasang wajah aneh, mengingat manusia normal di Jakarta
tidak pernah berjemur di taman rumahnya setiap hari.
Di
saat Nyokap sedang mencari rumah baru untuk kami, diam-diam, gue juga
mulai mencari rumah dalam bentuk lain: hati yang baru. Secara kebetulan,
urusan pindah rumah ini juga bertepatan dengan urusan pindah hati.
Temen-temen gue langsung membantu gue agar urusan pindah hati ini bisa
selesai dengan baik. Menurut mereka, cara paling gampang untuk sembuh
dari patah hati adalah dengan mencari hati yang baru. Maka, ini yang gue
lakukan. Gue mencari, orang mana yang akan jadi tempat berlabuh hati
gue yang baru. Secara sederhana, gue berpikir, orang yang baru ini akan
menjadi solusi terhadap patah hati yang baru gue alami.
Sama
dengan Nyokap yang terobsesi untuk mencari rumah yang terbaik, gue juga
terobsesi mencari “orang baru” terbaik. Gue minta dikenalin sama
temen-temen gue, kali-kali aja mereka punya temen yang bisa dikenalin.
Selama sebulan, gue di set-up sama temen-temen gue dengan orang
yang mereka pikir bisa cocok dengan gue. Kencan buta, menjadi suatu hal
yang biasa pada saat itu. Gue pergi nge-date dengan berbagai
macam orang dari berbagai macam latar belakang. Gue pergi dengan orang
yang katanya bisa ngeliat hantu, sampai ke orang yang dari jauh mirip
hantu. Selama tiga bulan gue banyak sekali ketemuan untuk ngopi dengan
berbagai-macam cewek, walaupun biasanya abis ngopi gue langsung
berpikir, ‘Kayaknya bukan ini deh.’
‘Lo
mau yang kayak gimana lagi sih?’ tanya temen gue, yang udah kapok
menjodohkan gue dengan temen-temennya. ‘Gak ada yang lo menurut lo pas.
Lo kira lagi milih baju?’
‘Ya, gue kan harus cari yang match.’
‘Emang kriteria lo gimana sih?’
Lalu
gue menjelaskan kepada temen gue, bahwa gue gak punya kriteria cewek
yang baik buat gue seperti apa. Banyak contoh orang yang udah punya
kriteria spesifik yang pada akhirnya jadian dengan orang yang sama
sekali bertolak belakang. Ara, seorang teman gue yang jomblo, berkata
bahwa dia mau cowok seorang drummer, rumahnya deket, dan suka lagu
Britpop; pada akhirnya dia justru pacaran sama seseorang yang bekerja di
perusahaan periklanan, rumahnya jauh, dan menggemari lagu-lagu classic
rock. Seorang teman cowok, mencari yang beda umurnya lebih muda minimal
lima tahun, malah berakhir dengan seseorang yang lebih tua dua tahun.
Konsep true match mungkin tidak mengenal kriteria yang terlalu spesifik seperti ini, atau konsep true match tidak mengenal kriteria.
Setelah
gue jelasin panjang lebar, temen gue merespon, ‘Mungkin masalahnya
bukan karena lo gak ada kriteria, atau cewek-cewek yang gue kenalin gak
ada yang cocok sama lo?’
‘Jadi apa dong?’ tanya gue.
‘Lo emang masih mentok sama mantan lo itu.’
Gue diem sebentar. Kalimat itu membuat gue agak berpikir lama. Bagaimana jika temen gue bener?
Jangan-jangan, selama ini,
hati gue masih belum mau untuk pindah.
*
Di
antara anggota keluarga, Bokap sebenernya orang yang gak mau pindah
rumah. Namun, Bokap enggak bisa menolak keinginan Nyokap untuk pindah
rumah. Ini disebabkan karena gue hidup di sebuah keluarga di mana
tingkat kekuasaan tertinggi dipegang oleh Nyokap. Kalau mau dibandingkan
dengan sebuah negara, Nyokap adalah presiden merangkap panglima
angkatan bersenjata tertinggi (dengan dua orang pembantu di rumah
sebagai prajuritnya). Bokap, adalah menteri, jadi harus nurut sama
presiden. Gue dan tiga orang adik gue yang cewek, adalah Walikota, Bu
Lurah, Bu RW, dan Bu RT secara berurutan. Sementara Edgar, adik gue yang
paling kecil, ada di tingkat kekuasaan paling bawah sebagai bencong
lampu merah.
‘Papa enggak mau pindah, Dik,’ kata Bokap, dengan aksen Batak, kepada gue.
‘Yah, Papa tahu sendiri Mama kalau ada maunya pasti susah dilawan.’
‘Bener juga, Dik,’ kata Bokap, dengan mata nanar.
‘Emang kenapa, Pa? Kok gak mau pindah?’
‘Papa udah terlalu terbiasa di rumah ini.’
Bokap memang termasuk orang yang sangat attached dengan
barang-barang miliknya. Mobil yang dia pakai adalah sebuah Nissan
Terano tahun 2000. Mobil tersebut dia miliki dari mulai gue masih SMP,
dan sampai sekarang, dia belum pernah menggantinya. Mobilnya sudah
sangat tidak layak, dan bolak-balik masuk bengkel. Tapi tetap saja,
bokap memakai mobilnya tersebut dengan bangga, karena katanya, terlalu
banyak kenangan yang melekat pada mobil tersebut.
Sama
dengan mobilnya tersebut, rumah ini, juga penuh dengan
kebiasaan-kebiasaan bokap, dan bokap sudah terbiasa melakukan
rutinitasnya di rumah ini. Setiap pulang ke rumah, misalnya, bokap ngaji
di ruang makan, selalu di jam yang sama, di kursi yang sama.
Selesai mengaji, bokap akan menonton TV di ruang keluarga, duduk di
depan pintu, dan kalau sudah ngantuk duduknya akan semakin ke belakang,
belakang, dan akhirnya tidur di lantai. Kadang kebiasaan ketidurannya di
ruang TV ini bisa membuat pembantu histeris ketika pembantu tersebut
hendak membersihkan ruang TV pagi-pagi dan menemukan Bokap gue dengan
kepala terjulur dari balik pintu.
Salah satu kebiasaan Bokap di rumah ini yang menurut gue agak-agak ajaib adalah kebiasaan yang dia selalu lakukan begitu dia bangun tidur, yaitu senam kentut.
Ya, bokap gue termasuk orang yang gila kesehatan, dan salah satu hal
menurut dia rahasia dia belajar senam, yang berujung pada kentut.
‘Tiap
pagi, ada gas di perut kita yang harus dipaksa keluar, kalau enggak,
kita bisa sakit,’ kata dia menjelaskan ritual senam kentutnya. ‘Jadi,
Papa harus kentut setiap pagi. Kentut itu sehat.’
Bokap
lalu mereganggkan badannya, dan dengan beberapa gerakan tiduran di
lantai, dengan muka mengendan hingga berwarna merah, dia kentut. Dia
sempat menjelaskan asal-muasal gerakan dahsyatnya itu. Dia bilang,
‘Jadi, Papa dulu ikut Merpati Putih (sejenis aliran beladiri), lalu
pemanasan Merpati Putih itu, karena dia memakai tenaga dalam, bisa
membuat kita kentut. Papa lalu baca buku kesehatan tentang pentingnya
kentut. Maka Papa membiasakan diri menggunakan gaya-gaya Merpati Putih
untuk kentut.’
Ada
sedikit rasa malu di dada gue sebenarnya, sementara orang-orang lain
yang belajar jurus-jurus Merpati Putih bisa kita lihat di TV-TV
menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan api, menghancurkan batu, atau
menahan pedang… Bokap gue malah menggunakan jurunya untuk.. kentut.
Merpati Putih adalah aliran bela diri yang dahsyat, dan satu-satunya
Bokap gue bisa lakukan kalau ketemu perampok berpisau di jalanan adalah
dengan mengentuti senjatinya.
Di
rumah, tempat dia melakukan senam kentut bermacam-macam. Kadang di
taman, kadang di depan kamar tidur, hampir semua penjuru rumah ini
pernah dia kentuti. Kecuali di dapur, karena ketika Bokap hendak senam
kentut di sana, Nyokap selalu bilang, ‘Papa tega, meracuni makanan
anak-anak kita?’
Kebiasaan
ritual senam kentut ini pun mengundang kebiasaan lain: dia selalu
melakuaknnya di pagi hari, dengan baju yang sama: atasan kaos oblong dan
celana training putih. Urutan gerakannya sama: dia akan tiduran di
lantai, badan menghadap atas, dengan muka penuh amarah dan ngeden sekuat
tenaga ‘Hmmmph!’ Urat-urat mukanya terlihat, mukanya menunjukkan usaha
keras yang amat sangat, lalu setelah usaha beberapa menit, akan
terdengar suara lemah.. ‘Dut.’ Dia berhasil kentut. Terkadang, kalau
lagi kuat banget, kentut Bokap akan berentet seperti semacam senapan
mesin yang terbuat dari daging: ‘Dudududududududududut.’ Kadang sakit
kuatnya, pinggul Bokap sempet ngangkat-ngangkat sendiri, mungkin karena
tekanan angin dari bawah yang mementalkan tubuhnya. Kalau sudah begitu,
Bokap akan terkulai lemah, selama beberapa menit, mungkin beberapa
persen sari-sari kehidupannya ikut keluar dengan kentut yang terbuang.
Bokap
enggan pindah rumah karena ini. Dia merasa bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang sudah dia lakukan sedari dulu, melekat dengan rumah ini. Rasanya
akan beda kentut di rumah yang baru. Mungkin, dia akan sangat susah
sekali kentut, karena lingkungannya yang beda tersebut. Bokap terlalu attached dengan
rumah ini, sehingga mau sebagus apa pun rumah yang baru, rumah yang
lama akan terlihat lebih nyaman. Ini adalah ilusi sebuah kepindangan:
kadang, tempat yang baru dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap
kenangan di tempat yang lama.
Hal yang sama juga gue perhatiin dengan urusan pindah hati. Gue masih attached dengan diri dia yang lama, dengan kebiasaan yang
melekat pada diri dia. Seperti Bokap gue yang terbiasa senam kentut di
pagi hari, gue terbiasa untuk menelpon dia ketika baru aja bangun. Gue
terbiasa untuk tidak tidur sebelum mendengarkan suaranya lagi. Gue
terbiasa untuk gandengan di mallsetiap Sabtu malam. Gue terbiasa dengan semua kebiasaan ini.
Seperti Bokap gue juga, masih attched kenangan
kita yang lama, yang gue masih belum bisa ngelupain. Melupakan sesuatu
memang tidak mudah. Dalam kasus gue, salah satu hal yang menjengkelkan
adalah kenangan-kenangan yang menempel pada tempat kita pacaran dulu.
Café tempat kita pertama bertemu tidak pernah lagi terasa sama. Tempat
pertama kali nge-date, event yang secara rutin kita lalui, semua tempat-tempat itu seperti menempel dengan kenangan akan orang yang coba kita lupakan. Perjuangan untuk pindah adalah perjuangan untuk melupakan.
Kadang gue mikir gue bisa dengan gampang ngelupain hal-hal yang remeh:
janjian sama orang, tugas kuliah, atau ulang tahun seorang teman.
Kadang, gue pengen kemampuan gampang lupa ini juga bisa berlaku pada
hal-hal yang penting.
Di saat ini gue berusaha untuk paham: untuk bisa pindah ke hati yang baru, untuk menemukan true match, gue harus melupakan dulu yang lama. Tapi, bagaimana caranya?
Pindah part 3
Kita
sekeluarga akhirnya pindah ke sebuah rumah di Cipete. Nyokap menemukan
rumah tersebut dari hasil pencarian yang cukup panjang dan lama. Rumah
yang baru itu kira-kira luasnya 250 m2, dengan taman di belakang.
Masing-masing adik gue punya kamarnya sendiri. Kamar yang paling besar
diklaim oleh Yudhita, adik gue yang paling besar. Sedangkan kamar yang
paling kecil, didiamin oleh Edgar. Kamar gue sendiri berada di lantai
dua. Sebelum gue pindah ke sana dan actually melihat seperti
apa bentuk kamarnya, nyokap selalu membesar-besarkan kamar ini, dia
bilang, ‘Gila Dik, kamar kamu besar banget lho di rumah yang baru!’
‘Oh
ya?’ tanya gue, agak sedikit gak yakin. Gue tahu banget nyokap gue, dan
dia sering banget membesar-besarkan hal yang tidak penting.
‘Yaaa.. gak besar-besar sih, tapi cukup besar lah buat kamu sendiri.’
‘Oh ya?’ tanya gue, lagi.
‘Yaaaaa, gak cukup besar juga sih buat kamu sendiri, tapi buat tidur sama kerja sih cukup.’
‘Oh ya?’
‘Yaaaaaaa.. cukup lah buat tidur aja sih. Kerja atau nulis kan bisa di cafe.’
Sampai
di sini gue memutuskan untuk tidak bertanya lagi soal kamar, takut
tiba-tiba yang keluar dari mulut nyokap adalah, ‘Yaaaa, gak cukup besar
buat tidur sih. Tapi cukup lah untuk berdiri...’
Sesampainya
gue di rumah yang baru, ternyata nyokap melupakan satu detil yang belum
dia ceritakan pada gue, yaitu kamar gue yang baru dulunya bekas kamar
anak kecil. Begitu gue menginjakkan kaki di kamar tersebut, hal pertama
yang gue lihat adalah wallpaper kamar gue bergambar Winnie The
Pooh megang balon. Ya, gak cuman Winnie The Pooh si beruang madu imut
kegemaran anak kecil, tetapi beruang tanpa celana tersebut juga harus
memegang balon.
Di malam pertama gue pindah rumah yang baru, gue mencoba tidur di kamar dengan wallpaper Winnie
The Pooh tersebut. Hasilnya, gue gak bisa tidur semaleman. Ada rasa
yang asing yang gue rasain di kamar itu. Gue termasuk orang yang susah
tidur di tempat yang tidak biasa, dan kamar yang baru ini, adalah salah
satu contoh yang baik. Semaleman gue bolak-balik badan, mencoba untuk
tidur. Segala cara udah gue lakuin, dari mulai mendengarkan musik-musik
jazz yang lembut, sampai kepada meditasi kecil-kecilan. Hasilnya, tetep
gue gak bisa tidur. Kamar ini terasa terlalu asing untuk ditiduri, dan
gue gak terlalu suka untuk ngerasa seperti itu.
Tidak
cukup dengan kamar yang kecil dan kekanak-kanakan tersebut, rumah yang
baru ini juga punya masalah sama listrik. Mungkin karena pemilik lamanya
lupa mengurusi rumah, atau alasan yang lainnya, listrik di rumah ini
sering mati. Gue sering lagi nonton film-film komedi di DVD player, dan
sering sekali setiap kali gue lagi ketawa-ketawa nonton, tiba-tiba
listrik mati. Hal ini menyebabkan gue jadi terbiasa untuk nonton yang
diiringi tertawa dengan erangan yang berbunyi ‘HahahahahAAARGGGHHH!!!!!’
Masalah
lain juga muncul di kamar gue yang baru ini. Suatu pagi gue terbangun
dengan bantal yang basah, dengan bekas genangan air tepat di sekeliling
kepala gue. Pertama-tama gue berpikir jangan-jangan gue ngences pas lagi
tidur, setelah gue berpikir bahwa air liur manusia normal tidak mungkin
sebanyak itu sampai membuat bantal gue basah, jadi buru-buru gue hapus
teori tersebut. Gue sempet bilang ke nyokap, ‘Ma, kok bangun-bangun kok
bantal basah ya?’
‘Ah, Dika. Kamu ngompol kali! Hihihi!’ kata Nyokap.
Karena
gue gak mungkin pipis dari kepala, jadi teori nyokap juga tidak
berlaku. Setelah beberapa hari berturut-turut bangun dengan bantal
basah, gue akhirnya menemukan penyebabnya, langit-langit kamar gue
ternyata bocor. Lengkaplah sudah penderitaan.
Rumah ini sama sekali bukan
*
Di masa ini pula gue udah enggak mentok sama
pacar gue yang lama, dan mulai membuka hati kepada orang lain. Di masa
ini juga, gue kenal dengan Vani. Pertemuan gue dengan Vani di mulai dari
perjodohan yang dilakukan oleh Sasha, temen gue, kepadanya. Temen gue
ini nampaknya punya obsesi jadi Mak Comblang, jadi dia kadang terlalu
bersemangat menjodohkan gue dengan Vani. ‘Orangnya, gue lihat, cocok
banget sama lo, Dit. Lo orangnya lucu, dia juga gila banget jadi orang.’
‘Masa sih? Gue udah berapa kali kenal sama orang, tapi kok gak pernah bisa nemu yang cocok ya.’
‘Kriteria
lo kebanyakan kali,’ kata temen gue. ‘Lo tuh ya, udah jelek,
kriterianya juga kebanyakan, jadinya gak bakal ketemu yang pas deh.’
‘Wajar kali kalo punya banyak kriteria, kita kan emang pengen yang terbaik buat diri kita, kan?’ tanya gue balik, membela diri.
Gue selalu berpendapat, semakin tua seseorang, akan semakin susah orang tersebut untuk menemukan true match-nya.
Gue gak tau kenapa. Kecurigaan gue yang utama adalah dengan semakin
banyaknya kriteria kita untuk orang yang akan menjadi pasangan kita.
Sewaktu kecil dulu, kriteria yang ada hanya satu: dia suka sama gue. Kriteria yang ada di umur-umur gue, sekitar dua puluh lima tahunan, adalah: dia suka sama gue,
kerjaannya mesti bagus, lulusan universitas yang bagus, keluarganya
juga harus cocok sama keluarga gue, sampai kepada agamanya harus sama.
Kadang, kita juga kenal dengan orang baru untuk membuktikan apakah
kriteria-kriteria ini berlaku di orang tersebut. Dan kadang, kita bisa
saja salah.
‘Lo harus ketemu Vani, untuk ngebuktiin bahwa kriteria lo itu cuman membatasi lo untuk menjadi bahagia,’ kata Sasha.
‘Oke deh. Set me up,’ kata gue, merasa tertantang.
Selajutnya,
gue ngopi sama Vani di suatu hari Sabtu yang mendung. Kita duduk
berdua, ngobrol, tanpa ada ekspektasi satu sama lain. Vani datang ke
sana karena dipaksa oleh Sasha, begitu pun dengan gue. Kami dipertemukan
karena sebuah keterpaksaan. Di saat kita duduk berdua, juga tidak
terlihat hal-hal yang nyambung. Vani adalah seorang adventurer,
petualang, dia suka bungee jumping, dia suka mencoba hal-hal ekstrim.
Sementara gue, naik Istana Boneka di Dufan aja udah muntah-muntah. Vani
juga orang yang suka di luar rumah, berpergian ke mana-mana. Sementara
gue, hari ideal buat gue adalah hari di mana gue gak ngapa-ngapain,
cuman tidur aja seharian di rumah, sambil sesekali baca buku. Dengan
begini semua sudah jelas: Vani, sama sekali tidak masuk kriteria gue.
Begitu pula sebaliknya: gue, tidak masuk dengan kriteria Vani. First
date yang kita alami mungkin first date paling tidak cocok yang pernah
kita sama-sama alami dalam sejarah pencarian pacar kita berdua.
Selama
tiga minggu gue tidak ketemu dengan Vani lagi. Dia melanjutkan hidupnya
seperti biasa, gue pun juga. Kita sama-sama berpikir bahwa apa yang
terjadi di first date kemarin mungkin hanyalah bad idea dan
kita sama-sama malu untuk itu. Hingga pada akhirnya gue ketemu lagi
dengan Vani di Bandung, di sebuah acara yang gue hadiri. Gue datang
sebagai undangan sebuah cafe yang baru saja dibuka, dan dia datang
sebagai teman pemilik cafe tersebut. Karena gak tau mau ngobrol sama
siapa, gue akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu, ngobrol sama
dia saja. Berbeda dengan apa yang kita alami sewaktu first date, sekarang actually we had fun. Mungkin sekarang beban first date sudah
tidak ada lagi, ketimbang pas kita ketemu pertama kali, yang sama-sama
terbebani oleh kewajiban untuk membuat Sasha merasa kita berdua cocok,
yang ternyata justru membuat kita merasa tidak cocok.
Semakin
lama, gue semakin dekat dengan Vani. Di suatu waktu gue berpergian
dengan Vani, gue sempet mampir ke rumah untuk mengambil jaket. Dia lalu
turun, katanya mau ketemu pertama kali dengan adik-adik gue. Dia
menunggu di ruang tamu, sementara gue ke kamar mengambil jaket. Sebelum
kita kembali ke mobil, dia sempet bilang, ‘You know, this is really a
nice house.’
‘Pffft. Lo gak tau, gue gak suka banget sama rumah ini. Apalagi kamar gue.’
‘Kenapa?’
‘Langit-langit bocor, wallpaper kamar gue Winnie The Pooh pula.’
Dia
sempet ketawa sebentar, lalu dia mengaku, ‘Gue suka banget Winnie The
Pooh lho. Lo emang gak pernah nonton kartunnya? Apa bukunya? Itu gak
terlalu anak-anak banget ah. Dan semua karakternya lucu-lucu.’
‘Masa sih?’ tanay gue, gak percaya.
‘Lagian, langit-langit bocor kan juga bisa dibenerin, repot amat gitu doang,’ kata dia, ngeledek.
Gue lalu buru-buru ngajak dia pergi keluar.
Malam
itu, karena tidak tahu mau pergi ke mana, kami berdua lalu pergi ke
Bandara Soekarno-Hatta, ke Terminal 3. Di situ, kami dudu di parkiran,
di atas kap mobil, ngeliatin pesawat yang terbang satu per satu. Setiap
kali ada pesawat yang lewat, kami foto dan berlomba untuk mengadu gambar
siapa yang paling bagus. Malam itu, kami juga cerita banyak soal masa
depan, masa lalu, dan apa yang kita lagi kejar sekarang.
‘This is fun,’ katanya.
‘Ya,’ kata gue. ‘This is fun.’
Gue
lalu meminta orang ke rumah untuk membenarkan langit-langit kamar yang
bocor. Sekarang kamarnya sudah tidak bocor lagi. Wallpaper-nya?
Ternyata, setelah gue pikir-pikir, punya wallpaper Winnie The
Pooh gak ada salahnya kok. Gue ternyata betah sama rumah ini. Gue jadi
bisa ngeliat apa yang tadinya tidak bisa gue lihat. Gue lalu mulai
membandingkan dengan rumah yang lama. Rumah yang lama tidak punya taman,
yang sekarang punya. Alfa, kucing persia gue, yang pas awal
kepindahannya takut-takut keluar dari kandang untuk mejelajahi rumah
yang baru, sekarang tiap pagi punya ritual khusus. Tiap pagi di akan ke
taman untuk berjemur, lalu siang masuk lagi ke kandang. She look like enjoying every moment di rumah yang baru ini.
Beberapa
malam kemudian, gue pulang ke rumah setelah mengantarkan Vani ke
rumahnya. We had great time, as usual. Kali ini kenyamanan yang gue
rasain. Kadang, ada keheningan di sela kita ngobrol, karena kita enggak
tahu apa lagi yang mau kita omongin. Tapi, kali ini, ada kenyamanan di
antara keheningan itu. Seolah-olah gak apa-apa untuk tidak tahu ngomong
apa-apa. Dan itu, rasanya, nyaman sekali.
Begitu gue masuk ke dalam rumah, menaruh kunci mobil di tempat biasa, Nyokap keluar dari kamarnya. Dia bertanya, ‘Baru pulang?’
‘Iya.’
‘Malem banget, Dik,’ kata nyokap.
‘Abis pergi, Ma. Baru pulangnya jam segini.’
Dia lalu bertanya, ‘Gimana, Dik? Kamu cocok gak?’
Gue nanya, ‘Cocok?’
‘Iya, sama rumah ini. Cocok gak?’
‘Oh, cocok, Ma.’ Gue lalu naik ke kamar. ‘Sekarang jadi cocok.’
Di kamar, gue melihat nama Vani di Blackberry Messenger. Sudah ada pesan dari dia, ‘Thanks for another good day with you.’ Gue menghela napas, memandangi langit-langit kamar yang sudah dibetulkan. Gue lalu berpikir, perjalanan menemukan true match seperti menemukan rumah yang cocok. Because, in the end, our true match adalah orang yang terasa seperti rumah: orang itu memberikan kita shelter, comfort, and protect you during rainy days.
Dan gue sangat berharap akan lama betah di rumah yang baru ini.
Di kedua rumah yang baru ini.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar