Kamu tau
kenapa saya suka wanita itu pakai jilbab? jawabannya sederhana karena mata saya
susah diajak kompromi. Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata
saya ini mulai dari keluar pintu rumah sampai kembali masuk ke rumah
lagi. Dan kamu tau? di kampus, tempat saya seharian di sana, kemana arah
mata memandang selalu saja membuat mata saya terbelalak. Hanya dua arah
yang bisa membuat saya tenang, mendongak ke atas langit atau menunduk ke
tanah.
Melihat
ke depan ada perempuan berlenggok dengan seutas "TANK TOP",
noleh ke kiri pemandangan "Pinggul Terbuka", menghindar ke
kanan ada sajian "Celana Ketat plus You Can See", balik ke
belakang dihadang oleh "Dada Menantang!" Astaghfirullah...
kemana lagi mata ini harus memandang.
Kalau
saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang merangsang itu
mah! tapi sayang, saya tidak mau hidup ini dibaluti dengan nafsu. Saya
juga butuh hidup dengan pemandangan yang membuat saya tenang. Saya ingin
melihat wanita bukan sebagai objek pemuas mata. Tetapi mereka adalah
sosok yang anggun, mempesona, kalau dipandang bikin sejuk di mata. Bukan
paras yang membikin mata panas, membuat iman lekas ditarik oleh pikiran
"ngeres" dan hati pun menjadi keras.
Andai
wanita itu mengerti apa yang sedang dipikirkan laki-laki ketika melihat mereka berpakaian seksi, saya yakin
mereka tidak mau tampil seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang
mempunyai niat untuk menarik laki-laki untuk memakai aset berharga yang
mereka punya.
Istilah
seksi kalau saya defenisikan berdasar katanya adalah penuh daya tarik
seks. Kalau ada wanita yang dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah
berbangga hati dulu. Sebagai seorang manusia yang mempunyai fitrah
dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena penampilan seksi itu
sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan anda adalah
objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda melakukan lebih seksi,
lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa kesimpulan yang ada dalam benak
sang lelaki? yaitu: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias gampangan.
Mau tidak
mau, sengaja ataupun tidak anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan
dihormati oleh penampilan anda sendiri yang anda sajikan pada mata
lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda, apa itu dengan
kata-kata yang menyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin sampai pada
perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin anda menjawabnya
"Lelaki" bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang lelaki di
jaman sekarang ini.
Kalu
boleh saya ibaratkan, tak ada pembeli kalau tidak ada yang jual. Simpel
saja, orang pasti akan beli kalau ada yang nawarin. Apalagi barang bagus
itu gratis, wah pasti semua orang akan berebut untuk menerima. Nah apa
bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi anda pada khalayak ramai,
saya yakin siapa yang melihat ingin mencicipinya.
Begitulah
seharian tadi saya harus menahan siksaan pada mata ini. Bukan pada hari
ini saja, rata-rata setiap harinya. Saya ingin protes, tapi mau protes ke
mana? Apakah saya harus menikmatinya...? tapi saya sungguh takut
dengan Dzat yang memberi mata ini. Bagaimana saya nanti
mempertanggungjawabkannya? sungguh dilema yang berkepanjangan dalam hidup saya.
Allah
Ta'ala berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya dan menahan kemaluannya", yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nuur:
30-31)
Jadi tak
salah bukan kalau saya sering berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan
komputer menyerap sekian juta elektron yang terpancar dari monitor, saya
hanya ingin menahan pandangan mata ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh
radiasi monitor, daripada saya tak bisa pertanggungjawabkan nantinya. Jadi tak
salah juga bukan? kalau saya paling malas diajak ke mall, jjs, kafe, dan
semacam tempat yang selalu menyajikan keseksian.
Saya
yakin, banyak lelaki yang mempunyai dilema seperti saya ini, mungkin ada yang
menikmati, tetapi sebagian besar ada yang takut dan bingung harus berbuat apa.
Bagi anda para wanita apakah akan selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai
kami tidak mampu lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian
terpaksa mengambil kesimpulan menikmati pemandangan yang anda tayangkan?
So,
berjilbablah..... karena itu sungguh nyaman, tentram, anggun, cantik,
mempesona, dan tentunya sejuk di mata.
Sumber : Dr. Yusuf Al-Qardhawi
PERTANYAAN
Sebagian
orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan alasan
firman Allah:
"Dan
diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang
menghinakan." (Luqman: 6)
Selain
firman Allah itu, mereka juga
beralasan pada penafsiran para sahabat tentang
ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud
dengan "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam
ayat ini adalah nyanyian. Mereka juga beralasan pada ayat lain:
"Dan apabila
mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..." (Al
Qashash:55)
Sedangkan
nyanyian, menurut mereka, termasuk
"laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya,
tepatkah penggunaan kedua ayat tersebut sebagai dalil
dalam masalah ini? Dan bagaimana pendapat Ustadz
tentang hukum mendengarkan nyanyian? Kami mohon Ustadz
berkenan memberikan fatwa kepada saya
mengenai masalah yang pelik ini, karena telah terjadi
perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini, sehingga memerlukan
hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah berkenan
memberikan pahala yang setimpal kepada Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian,
baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan
oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat
dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain. Mereka
sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian,
kefasikan, dan menyeret seseorang
kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang
mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek.
Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari
adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan
Anda jika perkataan seperti itu diiringi dengan nada
dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang
diperbolehkannya nyanyian yang baik pada
acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat
menyambut kedatangan seseorang, dan pada
hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.
Namun
demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain
itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka
ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan
menggunakan alat musik maupun
tidak, bahkan dianggapnya mustahab. Sebagian lagi
tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan
musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula
yang melarangnya sama
sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).
sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).
Dari
berbagai pendapat tersebut, saya cenderung
untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu
adalah halal selama tidak ada nash
sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi
tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara
lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita
perhatikan ayat pertama: "Dan diantara manusia (ada)
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
..."Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in
untuk mengharamkan nyanyian. Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah
sebagaiman yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla.
Ia
berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi. Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi. Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
"Dan
diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan ..."
Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku
seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan
kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang
yang membeli Al Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan
olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau
menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau
menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
Adapun
ayat kedua: "Dan apabila mereka
mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Penggunaan
ayat ini sebagai dalil untuk
mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna
zhahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang
berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti
yang kita lihat dalam
lanjutan ayat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala. berfirman:
lanjutan ayat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala. berfirman:
"Dan apabila
mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi
kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami
tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
Ayat
ini mirip dengan firman-Nya
mengenai sikap 'ibadurrahman (hamba-hamba yang
dicintai Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik."
(Al Furqan: 63).
Andaikata
kita terima kata "laghwu" dalam ayat tersebut
meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya
menyukai kita berpaling dari mendengarkan
dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya. Kata
"al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu
yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan
dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah
Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
"Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..."
(Al Ma'idah: 89).
Imam Al
Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap
sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh
dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya
itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan
hukuman pada nyanyian dan tarian?"
hukuman pada nyanyian dan tarian?"
Saya
katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya
ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik
menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat)
sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah
saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh
Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang
melarang nyanyian. Ibnu Hazm
berkata: "Mereka berargumentasi dengan
mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak
ada yang ketiga?. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
"... maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan
kesesatan ..." (Yunus, 32).
Maka jawaban saya, mudah-mudahan
Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya
amal itu tergantung pada
niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan)
apa yang ia niatkan."
Oleh
karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya
untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti
ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa
mendengarkannya dengan niat untuk menghibur
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Adapun
hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian
semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun
yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya)
maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu
Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun
hadits sahih yang mengharamkannya." Demikian juga yang
dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan
Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai
masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan
palsu."
Apabila
dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian
itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita
banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini
cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan
Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk
menemui Nabi Salallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika itu ada dua gadis di sisi
Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya
seraya berkata: "Apakah pantas ada
seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.
seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.
Disamping
itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari
selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk
saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan
nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak
terlarang. Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak
lupa saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
1. Tema atau
isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi
kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan
ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji,
termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya,
pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya.
Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Begitupun
nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan
seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam
sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya
..." (An Nur: 30)
"Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An
Nur: 31)
Dan
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau
ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh
melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko
bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian
juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran
dan adab Islam.
2. Penampilan
penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak
"kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada
yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan
menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke
tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan
yang tidak sopan.
yang tidak sopan.
Maka
hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi Salallahu ‘Alaihi
Wasallam: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yeng ada penyakit dalam hatinya... (Al Ahzab: 32)
3. Kalau
agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu
termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap
berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita
waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu
dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan
memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia
yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh
Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan
disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Bagi
pendengar - setelah memperhatikan
ketentuan dan batas-batas seperti yang telah saya
kemukakan – hendaklah dapat mengendalikan dirinya.
Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat
menimbulkan rangsangan dan membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah kedalam hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah kedalam hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
Tidak
diragukan lagi bahwa
syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini
pada masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai
jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan
kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan
nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena
itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya,
menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu
yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam lembah
yang haram - suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu
saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa
yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah
sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kenmungkinannya
dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja begitu
banyak pengaruh yang ditimbulkannya, maka
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).
Khusus
bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu
Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan
menjaga diri serta bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan,
dan berbicara, yang sekiranya dapat menjauhkan
kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
"Hai
Nabi katakanIah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
"...
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit di dalam hatinya ..." (Al Ahzab:
32)
Tampilnya
wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk
memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya
dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya
untuk berkhalwat (berduaan)
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam.
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam.
PERTANYAAN
Saya seorang
pemuda yang berusia delapan belas tahun dan mempunyai beberapa orang
adik. Setiap hari adik-adik saya pergi ke
rumah tetangga untuk menonton televisi. Tetapi
ketika saya meminta kepada ayah untuk
membelikan kami televisi, beliau berkata, "Televisi itu haram."
Beliau tidak memperbolehkan saya memasukkan televisi ke rumah.
Saya
mohon Ustadz berkenan memberikan bimbingan kepada kami mengenai masalah ini.
JAWABAN
JAWABAN
Saya
telah membicarakan hukum televisi ini dalam pembahasan terdahulu.
Hal itu saya sampaikan pada kesempatan pertama, dan saya kemukakan kepada
para pemirsa melalui acara "Hadyul Islam" di televisi Qathar.
Pada
waktu itu saya katakan bahwa televisi sama halnya
seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah alat
atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan
sehingga Anda tidak dapat mengatakannya baik atau
buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan
dan materi acaranya. Seperti halnya pedang,
di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan
bila di tangan perampok, maka pedang itu merupakan alat
untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai
dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai
tujuan
dan maksudnya.
dan maksudnya.
Televisi
dapat saja menjadi media
pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan
kemasyarakatan. Demikian pula halnya radio, surat kabar,
dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, televisi
dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak.
Semua itu kembali kepada materi acara dan pengaruh yang
ditimbulkannya.
Dapat
saya katakan bahwa media-media
ini mengandung kemungkinan baik, buruk,
halal, dan haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa
seorang muslim hendaknya dapat mengendalikan
diri terhadap media-media seperti ini,
sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya berisi
kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.
Lewat
media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita
dan acara-acara keagamaan, pendidikan,
pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak
mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal ini
anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari
suguhan hiburan yang menyenangkan
hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari
tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.
Namun
begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh
ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak
akhlak. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur budaya dan
kebiasaan yang bertentangan dengan aqidah Islam
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk. Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral
yang rendah.
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk. Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral
yang rendah.
Secara
objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput
dari sisi negatif seperti ini, tidak
sunyi dari adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar,
dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah menjadi kebudayaan
dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita
yang tidak belajar berdansa adalah wanita yang
tidak modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk berdua
dengan seorang gadis sekadar untuk bercakap-cakap serta
saling bertukar janji?"
Inilah
yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian
terhadap akhlak anak-anaknya melarang memasukkan media-media
seperti televisi dan sebagainya ke rumahnya.
Sebab mereka berprinsip,
keburukan yang ditimbulkannya jauh
lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih besar
daripada manfaatnya, dan sudah tentu yang
demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak
diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi
dengan hati-hati, ketika keburukan dan
kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu
merata, dan tidak terhitung jumlah manusia
yang tidak lagi dapat menghindarkan diri darinya, karena
memang segi-segi positif dan manfaatnya juga ada. Karena itu,
yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini
adalah sebagaimana yang telah saya katakan
sebelumnya, yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang
buruk di antara film bentuk tayangan sejenisnya.
Hal
ini dapat dihindari oleh seseorang
dengan jalan mematikan radio atau televisinya, menutup surat
kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang
terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita dan
tulisan yang buruk.
tulisan yang buruk.
Manusia
adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup
pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan
dirinya atau keluarganya, maka langkah yanglebih utama adalah
jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif
(saddudz dzari'ah).
Inilah
pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang Maha
Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke
jalan yang lurus.
Kini
tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser
serta seluruh pihak yang berkaitan dengan media-media
informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban
kepada mereka terhadap
semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.
semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.
Pernahkah
anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab
terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon,
dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar
sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat
jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas
keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu
kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.
Mengapa "singa padang
pasir" ini sampai menangis?
Umar
pernah meminta izin menemui Rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring
di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah.
Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya
dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.
Rasul
yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?" Umar
menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas
pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu
hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di
singgasana emas dan berbantalkan sutera".
Nabi
berkata, "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, sebuah
kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan
kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang
yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian
berangkat dan meninggalkannya."
Indah
nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah
tempat pemberhentian sementara, hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk
kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.
Ketika
anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda
pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi.
Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini.
Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda
akan selamanya tinggal di tempat transit itu?
Ketika
anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera
meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia
ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda
sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan
anda bawa nanti di padang Mahsyar.
Sisakan
kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari
seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling
tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua
puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk
sholat dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur kita....mengapa tak kita
buang 15 menit saja untuk sholat tahajud.
"Celupkan
tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya
tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia,
sedangkan sisanya adalah akherat"
Bersiaplah,
untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi
akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk
beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.
Siapa yang tak tahu semut? Binatang ini
kecil dan suka yang manis-manis. Tapi Allah mengangkat derajat mereka begitu
tinggi sampai-sampai Allah menamakan salah satu surat dalam al-Qur'an dengan
nama mereka: an-naml (semut).
Ada kisah menarik antara semut dengan
Nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Alkisah, ketika Sulaiman dan tentaranya (terdiri
dari manusia, jin dan burung) berjalan sampai di suatu lembah, sekumpulan semut
khawatir terinjak oleh bala tentara Sulaiman. Berkatalah seekor semut kepada
kawannya:
"Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh
Sulaiman, dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari".(QS 27: 18)
Nabi Sulaiman yang diberi kemampuan
mendengar percakapan semut itu tersenyum dan tertawa karenanya. Tapi berbeda
dengan kita yang menjadi sombong ketika orang-orang kecil minggir ketakutan
melihat kita, Nabi Sulaiman segera berdo'a:
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham
untuk tetap mensyukuri ni'mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh."
Tengoklah kisah di atas dengan teliti.
Bahkan seorang Nabi seperti Sulaiman pun mampu mensyukuri ni'mat hanya karena
sekumpulan semut. Sekarang tengoklah diri kita, berapa banyak sepatu yang kita
punya, berapa banyak pakaian yang tersimpan di lemari, berapa kali sehari kita
membuka internet, berapa banyak tabungan kita di Bank, betapa empuknya kursi di
ruangan kita, dan masih banyak lagi ni'mat dari Allah disekeliling kita.
Sudahkah
kita mampu menjadikan benda-benda tersebut sebagai alat untuk membuat kita
bersyukur pada ilahi? Lalu bagaimana caranya mensyukuri ni'mat tersebut?
Gampang
saja! Anda memiliki ruang tamu yang luas, undang tetangga anda dan buatlah
pengajian di rumah anda seminggu sekali. Anda memiliki mobil, ajaklah rekan
sekerja anda yang naik bis kota untuk pulang-pergi ke kantor bersama-sama, anda
memiliki gaji yang berlipat ganda, berikan sedikit kelebihan harta anda pada
fakir miskin di sekitar lingkungan anda. Anda memiliki waktu luang dan ilmu
yang banyak, mengapa tak anda kumpulkan para remaja mesjid di tempat anda untuk
anda ajarkan sedikit ilmu pengetahuan. Anda memiliki baju yang banyak, coba
teliti mana baju yang benar-benar anda butuhkan,lalu sisanya berikan pada panti
asuhan. Dengan cara begini, setiap ni'mat yang kita peroleh mampu kita syukuri.
Ada
sebuah do'a yang mirip dengan do'a Nabi Sulaiman di atas, mari kita tengadahkan
tangan kita dan berdo'a :
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri." (QS 46:15)
"Saya tak bisa bahasa Arab,
saya malu memimpin do'a selepas sholat jama'ah bersama isteri saya, apalagi
didepan jama'ah yang lain."
Pernahkah
pengalaman ini menimpa kita? Insya Allah tidak. Tapi andaikata pernah,
janganlah khawatir. Sungguh Allah itu mengerti segala macam bahasa. Jangan malu
untuk berdo'a dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kalau anda hapal do'a
dalam bahasa arab, saya ucapkan alhamdulillah! Namun kalau anda lebih
"sreg" berdo'a dengan bahasa selain bahasa Arab, saya pun berucap
alhamdulillah! Yang terpenting adalah kita masih mau berdo'a. Kalimat terakhir
ini mengundang pertanyaan, "Mengapa sih kita harus berdo'a?"
Allah
adalah Tuhan kita satu-satunya. Allah pun dalam Al-Qur'an mengatakan bahwa
"Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" (QS
112:2). Dalam surat al-Fatihah kita pun berseru, "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka
Nasta'in" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami
mohon pertolongan). Karena itu, kalau ada orang yang mengaku bahwa Allah itu
Tuhannya lalu ia tak mau berdo'a maka pantas kalau kita sebut orang tersebut orang
sombong. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya
akan Kuperkenankan bagimu" (QS 40:60).
Betulkah
setiap do'a akan dikabulkan oleh Allah? Boleh jadi ada diantara kita yang telah
berdo'a sesuatu namun tak kita rasakan hasil dari do'a tersebut. Pertama, harus
disadari bahwa kita ini "hamba" sehingga tak berhak memaksa Allah.
Kita yang membutuhkan Allah; bukan sebaliknya.
Kedua,
Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Boleh jadi, sebuah do'a yang kita
minta bila dikabulkan oleh Allah justru ujung-ujungnya dapat menimbulkan
kesulitan dalam hidup kita atau mungkin Allah punya ketentuan lain yang tak
kita ketahui. Sebagai contoh, Nabi Nuh berdo'a agar anaknya diselamatkan dari
banjir dahsyat, Tuhan tidak mengabulkannya dan bahkan menegur Nabi Nuh sehingga
Nabi Nuh pun berdo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada
Engkau dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakekatnya) dan
sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas
kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang rugi." (QS
11: 47) Allah Maha Tahu, maka do'a kita kadang kala bukan tak dikabulkan tapi
ditunda waktunya, atau malah diganti dengan yang lebih baik. Wa Allahu A'lam.
Ketiga,
sudah seberapa jauh usaha kita untuk "meminta" dan
"memelas" pada Allah. Nabi Zakariya sendiri telah puluhan tahun
berdo'a namun belum dikabulkan Allah. Tapi berbeda dengan kita yang cenderung
tak sabar, Nabi Zakariya berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah
lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku." (QS 19:4)
Begitulah
sikap kita seharusnya: jangan pernah kecewa dalam berdo'a. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa "Aku ini bagaimana persangkaan hambaKu saja..."
Maksudnya, kalau kita dalam berdo'a belum-belum sudah beranggapan bahwa do'a
ini tak akan dikabulkan, yah begitulah jadinya. Insya Allah kita selalu berbaik
sangka dan tak pernah kecewa dalam berdo'a.
Dalam
berdo'a kita diminta untuk berharap-harap cemas (QS 21:90). Artinya, kita
berharap do'a kita akan dikabulkan, namun disisi lain kita juga cemas
kalau-kalau do'a ini tidak dikabulkan. Gabungan perasaan inilah yang menjadi
etika dalam berdo'a. Kita tidak terlalu yakin pasti akan dikabulkan, namun juga
tidak putus asa. Etika lainnya adalah kita disuruh berdo'a dengan merendahkan
diri dan dengan suara yang lembut (QS 7:55). Kalau kita jalani etika berdo'a
ini insya Allah hati kita akan tergetar dan seringkali tanpa sadar air mata
menggantung di pelopak mata.
Pendek
kata, berdo'alah baik dalam keadaan sehat-sakit, suka-duka, kaya-miskin,
berdiri-duduk-berbaring, pagi-siang-malam...
Masih hidupkah Khidhr? Entahlah, saya
memang mendengar cerita seorang 'alim yang mengaku berjumpa Khidhr. Nama Khidhr
memang sudah terlanjur melegenda, meskipun al-Qur'an sendiri tidak pernah
menyebut nama Khidhr secara terang-terangan. Al-Qur'an melukiskan Khidhr dengan
"...seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami." (QS 18:65)
Perhatikan redaksi yang digunakan
al-Qur'an. Ternyata, Khidhr atau apapun nama beliau hanyalah satu dari sekian
banyak hamba Allah yang telah diberi rahmat dan ilmu. Boleh jadi banyak sekali
hamba Allah yang punya kelebihan seperti Khidhr, tetapi Allah tidak beritakan
kepada kita atau kita memang tidak mengetahuinya. Tapi itulah Khidhr, sebuah
nama yang terlanjur melegenda dan menyimpan misteri yang tak kunjung habis
dibicarakan.
Dalam surat al-Kahfi diceritakan bagaimana
Nabi Musa ingin berguru dengan Khidhr. Khidhr semula menolak, namun Musa terus
mendesak. Perhatikan redaksi al-Qur'an ketika mengutip penolakan Khidhr,
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?" (QS 18:67-68)
Khidhr menolak Musa bukan dengan argumen
bahwa Musa itu bodoh atau malas. Khidhr menolak Musa karena Musa tidak akan
bisa bersikap sabar. Soalnya, kata Khidhr, bagaimana kamu bisa sabar pada
persoalan yang kamu tidak punya ilmu tentangnya?
Begitulah yang terjadi. Musa selalu
memprotes dan menyalah-nyalahkan perbuatan Khidhr yang, dipandang dari sudut
pengetahuan Musa, merupakan perbuatan yang keliru.
Sayang, kita jarang mau belajar dari kisah
Khidhr dan Musa ini. Seringkali kita sebar kata "sesat",
"kafir", "menyimpang", "bid'ah" kepada saudara-saudara
kita, yang dipandang dari sudut pengetahuan yang kita miliki, melakukan
kesalahan besar.
Kita menjadi emosional, kita menjadi tidak
sabar. Pada saat itu, ada baiknya kita ingat kembali kisah Khidhr dan Musa.
Kisah Khidhr mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran merupakan lambang
tingginya pengetahuan.
Ketika mendengar sebuah berita
"miring" tentang saudara kita, apa reaksi kita pertama kali?
Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan berita itu, bahkan ada juga
yang dengan semangat meneruskannya kemana-mana.
Kita ceritakan aib saudara kita, sambil
berbisik, "sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan
berita tersebut ke yg lainnya, juga sambil berpesan, "ini rahasia
lho!"
Kahlil Gibran dengan baik melukiskan
hal ini dalam kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin, jangan
salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."
Inilah yang sering terjadi. Saya
memiliki seorang rekan muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya
menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat mengatakan,
"saya dengar dari si A tentang "malam pertamanya" si B."
Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A tahu?" Dengan enteng rekan
saya menjawab, "ya dari si B sendiri! Bukankah mereka kawan akrab..."
Masya Allah! rupanya bukan saja
"rahasia" orang lain yang kita umbar kemana-mana, bahkan
"rahasia kamar" pun kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya
juga punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.
Saya ngeri mendengar hadis Nabi:
"Barang siapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan
membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, Allah akan
mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."
Fakhr al-Razi dalam tafsirnya
menceritakan sebuah riwayat bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan
kitab catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. Ketika sampai pada
bagian yang berkenaan dengan kejelekan manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh
menutupnya. Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah
dan menyembunyikan yang buruk."
Jangan bongkar aib
saudara kita, supaya Allah tidak membongkar aib kita.
"Ya Allah tutupilah aib dan segala
kekurangan kami di mata penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih
sayang-Mu, Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"
Seorang Raja mengumumkan
sayembara:"Barangsiapa yang sanggup berendam di kolam kerajaan sepanjang
malam akan dihadiahi pundi-pundi emas." Sayembara ini sepintas terlihat
mudah, namun berendam di kolam pada saat musim dingin tentu bukan perkara mudah.
Walhasil, tak ada yang berani mencobanya.
Seorang miksin dari pelosok pedesaan,
karena tak tahan dengan tangisan kelaparan anaknya, memberanikan diri mengikuti
sayembara itu. Pundi-pundi emas membayang di pelupuk matanya. Bayangan itulah
yang mendorong dia akhirnya berangkat ke istana. Raja mempersilahkan dia masuk
ke kolam istana. Sekejap saja orang miskin ini masuk ke dalamnya, ia langsung
menggigil kedinginan. Giginya saling beradu, mukanya mendadak pucat dan
tubuhnya perlahan meringkuk.
Tiba-tiba ia melihat nyala api dari salah
satu ruang istana. Segera saja ia bayangkan dirinya berada dekat perapian itu;
ia bayangkan betapa nikmatnya duduk di ruangan itu. Mendadak rasa dingin di
tubuhnya, menjadi hilang. Kekuatan imajinasi membuatnya mampu bertahan. Perlahan
bayang-bayang pundi emas kembali melintas. Harapannya kembali tumbuh.
Keesokan harinya, Raja dengan takjub
mendapati si miskin masih berada di kolam istana. Si miskin telah memenangkan
sayembara itu. Raja penasaran dan bertanya "rahasia" kekuatan si
miskin. Dengan mantap si miskin bercerita bahwa ia mampu bertahan karena
membayangkan nikmatnya berada di dekat perapian yang ia lihat di sebuah ruangan
istana.
Lama sudah waktu berjalan sejak saya baca
kisah di atas sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun baru belakangan saya
menyadari kiasan dari cerita itu. Imajinasi dan harapan akan kehidupan yang
lebih baik telah menjadi semacam stimulus untuk kita bisa bertahan.
Ketika krisis ekonomi menghadang negara
kita, sekelompok orang menjadi panik tak karuan. Apa saja dilakukan mereka
untuk mempertahankan kenikmatan hidup. Mulai dari menjadi spekulan mata uang,
menimbun barang, menjilat penguasa dan meniupkan isu kemana-mana. Norma agama
telah dilanggar untuk kepentingan duniawi belaka. Akan tetapi, segelintir orang
tetap tenang karena sudah lama badan mereka di "bumi" namun jiwa
mereka di "langit".
Kelompok terakhir ini membayangkan
bagaimana nikmatnya hidup di "kampung akherat" nanti, sebagaimana
yang telah dijanjikan Allah. "Pundi-pundi kasih sayang ilahi"
membayang dipelupuk mata mereka.
Bagaikan si miskin yang tubuhnya berada di
dasar kolam, namun jiwanya berada di dekat perapian; bayangan "kampung
akherat" membuat mereka tenang dan tidak mau melanggar norma agama.
Bagaikan kisah si miskin di atas, boleh jadi Raja akan takjub mendapati mereka
yang bisa bertahan di tengah krisis ini, tanpa harus menjilat kepada istana
(apalagi bila jilatan itu dibumbui sejumput ayat dan hadis)
Ada seorang muslim yang tengah berpuasa,
rekan bulenya yang tinggal satu flat berulang kali mengetok pintu kamar hanya
untuk memastikan apakah si muslim masih hidup atau tidak. Orang bule itu tak
habis pikir bagaimana si muslim bisa bertahan hidup dan tetap beraktifitas
tanpa makan-minum selama lebih dari 12 jam. Rindu "kampung akherat"
menjadi jawabannya.
Sama dengan herannya seorang rekan
mendapati seorang muslimah di tengah musim panas (summer) tetap beraktifitas
sambil memakai jilbab. Ketika ada yang bertanya, "apa tidak
kepanasan?" Muslimah tersebut menjawab sambil tersenyum, "lebih panas
mana dengan api neraka?"
Kenikmatan "kampung
akherat" rupanya jauh lebih menarik buat seorang muslim/muslimah.
Selepas shalat jama'ah, saya ditegur
oleh seorang rekan, "Mengapa tubuh anda bergoyang lebih dari tiga
kali?". Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sambil tak lupa
mengatakan bahwa goyangan itu diluar kesadaran saya. Seringkali usaha mencoba
konsentrasi dalam shalat mengakibatkan tubuh saya bergoyang tanpa saya sadari.
Teman saya terlihat puas dengan jawaban saya.
Di lain waktu selepas shalat jama'ah
teman saya tersebut menegur jama'ah yang lain. Ia bertanya, "Kenapa ruku'
anda tidak sempurna?" Jama'ah tersebut jadi gelagapan dibuatnya.
Saya jadi mulai berpikir, inikah
kerjaan rekan saya tersebut....sibuk mengamati gerakan shalat di kanan-kirinya.
Saya khawatir sepanjang shalat ia habiskan untuk mengamati gerakan shalat orang
lain dan bersiap untuk menegurnya selepas salam nanti.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan
bahwa bila hamba Allah diberikan hikmah oleh Allah maka yang pertama kali
ditampakkan-Nya adalah kesalahan hamba itu sendiri sehingga hamba itu tak sibuk
memikirkan kesalahan orang lain.
Mungkin teman saya itu kelewat semangat
sehingga ia sibuk memikirkan kesalahan orang lain daripada memikirkan kesalahan
diri sendiri. Maksudnya baik namun sementara orang lain mendapat manfaat dari
teguran itu, ia sendiri kehilangan kekhusyu'an ketika shalat. Ibarat lilin yang
ingin menerangi kegelapan, lambat laun lilin itu habis terbakar sendiri.
Dalam Surat an-Najm
ayat 32 Allah berfirman:
"Dan Dia lebih mengetahui (tentang
keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin
dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."
Jika hanya Allah yang tahu tentang
kadar ketakwaan kita, maka mengapa kita harus terlalu semangat memikirkan
kesalahan orang lain. Dakwah itu penting, tetapi yang harus dihindari disaat
berdakwah adalah merasa dirinya paling benar, paling suci dan paling takwa,
juga hanya sibuk memikirkan kesalahan orang lain tanpa peduli pada kesalahan
dan kekurangannya sendiri. Saya berharap kita semua (termasuk teman saya di
atas) tidak termasuk golongan terakhir ini, insya Allah!
Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam
adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang
terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai
pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang mneruskan tetapi
sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan
diteruskan oleh sahabat beliau.
Pertanyaannya: siapa
yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana
caranya?
Wafatnya
Rasul Salallahu ‘Alaihi Wasallam membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat
pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka
rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di "balairung" safiqah
di perkampungan Bani Sa'idah . Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan
Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan 'Aus.
Umar
rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan
gawatnya persoalan. Umar berkata,"Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang
berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah
untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang
mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna
amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak
pelak lagi akan menggoyang "bayi" umat Islam.
Setelah
mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di
tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut
serta. Ketika mereka tiba telah hadir terle bih dulu beberapa kaum muhajirin
yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang
menyaksikan di depan matanay bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah
Islamiyah...hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Saat ia hendak
berbicara, Abu Bakar menahannya.
Setelah
mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan
ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy
(kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ). "Kami pemimpin (umara)
dan kalian "menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa
dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya."
Abu
Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum
Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat
pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar
menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam
berbicara ditengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang
hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa
bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imaam
shalat bilamana nabi sakit?
Umar
dan Abu Ubaidah segera membai'at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir
bin Sa'ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir
di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar.
Keesokan
harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai'atnya. Abu
Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul. Kemudian ia berpidato, sebuah pidato
yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat
maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (patisipatif-egaliter).
Semuanya?
ternyata tidak, dari yang hadir di safiqah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at
Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Diantara penduduk
madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai'at Abu Bakar adalah
Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak
berbai'at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.
Ketika
diberitahukan kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu. tentang peristiwa yang telah
terjadi di safiqah bani Sa'idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya:
"Apa yang
dikatakan kaum Anshar?"
"Kami angkat
seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat
seorang dari kalian sebagai pemimpin !"
"Mengapa kamu
tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam telah
berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan
memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat slaah " tanya Imam Ali lagi.
"Hujjah apa yang
terkandung dalam ucapan seperti itu ?"
"Sekiranya
mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam
tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka."
Kemudian Imam Ali
bertanya:
"Lalu apa yang
dikatakan orang Quraisy?"
"Mereka
berhujjah bahwa Quraisy adalah 'pohon' Rasulullah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam."
"Kalau begitu
mereka telah berhujjah dengan 'pohonnya' dan menelantarkan buahnya!"
Catatan
kaki:
1. Pemisahan atau tepatnya perbedaan
posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik, dalam konteks Islam, tidak
berarti pemimpin politik tidak concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus
harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak
peduli dengan masalah politk. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan
kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang
mengatakan,"berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan".
Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara
sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak
berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walau
tidak sebesar otoritas yang dipunya Nabi. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa
tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah bagi umat Islam dan Nabi
semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuaaan duniawi, nagara
ataupunpemerintahan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Ali Abdur Raziq
dalam al Islam wa Usul al Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat
terakhir ini cukup banyak, salah satunya, Dr Dhiya' ad-Din ar Rais, al Islam wa
al khalifah fi al-'Ashr al-hadist (naqd kitab "al Islam wa ushul al
hukm") Kairo, Dar at Taurats 1972, bandingkan dengan DR. Ahmad Syalabi,
As-Siyasah fi al Fikr al Islami, Kairo, Hahdhah al Misriyah, 1983, h. 35-38.
2. Peristiwa Safiqah yang saya ceritakan
kembali ini didasarkan pada Al Thabari, tarikh al-umam wa al-muluk, jilid IV,
h. 38-41, Munawir Syadzali, op.cit, h. 21-23, Jalaludin Rahmat,[2], op.cit., h.
84-89
3. Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku di
madinah yang selalu bermusuhan sebelum datangnya Nabi Muhammad. Akar permusuhan
yang telah mendarah daging itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa
nabi, sungguhpun demikian figur seorang Muhammad berhasil"meredamkan"
mereka. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka
lama lagi sepeninggal Muhammad Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
4. Lihat Al-Mawardi, al-ahkam
as-sultaniyah, Mesir, Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1966, h. 6; Ibn
Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-fikr,t.t, h, 194. Berbeda dengan Mawardi
dan pemikir muslim masa klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks
Al aimmah min Quraisy secara lahiriah belaka. Sesuai dengan teori Ashabiyah
nya. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy
yang pada masa itu di atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab paling
terkemuka dengan solideritas yang kaut dan dominan serta berwibawa. Jadi teks
itu haruslah dibaca: Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki
ciri-ciri suku Quraisy--dan tidak musti harus selalu orang Quraisy.
Persoalannya, apakah penjelasan Ibn Khaldun ini sama dengan yang dipikirkan
mereka yang hadir di Safiqah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyitir
teks itu?
5. Bai'at sesungguhnya dipergunakan sejak
masa nabi. Nabi sringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam,
yakni berlangsungnya bai'at ar ridwan dan bai'at al-'aqabah. Imam Nasa'i dalam
sunannya mengelompokkan bai'at kedalam sepuluh macam (lihat An-Nasa'i, Sunan
an-nasa'i bi Syarh as-suyuti, Beirut, Dar al-jil,1989,juz VI. h. 683-684).
Intinya, bai'at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan
mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai'at ini
diteruskan pada masa sepeninggal Nabi tetapi telah terjadi pergeseran makna.
Pada masa kekhalifahan, bai'at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan
sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai'at lihat
Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, An-nizam As-Siyasi fi Al-Islam, Qoum, Anshariyan,
1312 H, h. 69-75; Fathi Osman, "Bay'ah al Imam: Kesepakatan pengangkatan
Kepala negara Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed), masalah-masalah teori
politik Islam, Bandung, Mizan, 1993, h. 75-116.
6. Analisa terhadap istilah khalifah
berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W. Montgomery Watt,
Islamic political Thought, terj. Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta,
P3M,1988, h. 50-54; bandingkan dengan Bernard Lewis, The Political Languange in
Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta, Gramedia, h. 61-71.
7. Lihat DR. Nurcholis Madjid, "
Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas fiqh Siyasy Sunni " dalam Budhy
Munawar Rachman, op. cit, h. 592.
8. Umar berpidato,"... berdirilah
kalian dan berbai'atlah kalian(pada Abu bakar) sungguh saya telah berbai'at
kepadanya dan Anshar pun demikian" kemudian Ustman berdiri dan bersamanya
berdiri Bani Umayah, maka berbai'atlah mereka, Sa'ad bin Abi Waqash dan
Abdurrahman bin 'Auf berserta sukunya berdiri dan berbai'at pula. Adapun Bani
Hasyim berbai'atnya mereka dengan tekanan(paksaan) seperti diceritakan oleh Al
Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, op. cit, h. 155-156.
9. Seperti diriwayatkan dalam Najhul
Balaghah Syarh Muhammad Abduh, terj. Muhammad Al Baqir, Bandung, Mizan,1990, h.
63-64. Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya.
Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah
adalaah dua klan terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang
terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping
itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu
seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Imam
Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak
argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan
tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya
Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu
Bakar sebagai jalan tengah--orang Quraisy tapi bukan Bani Hsyim atau Bani
Umayyah (lihat M.A. Shaban, Sejarah islam Penafsiran Baru, Jakarta, rajawali
Press, 1993, h. 24-25). Persoalannya, apakahj "rasionalisasi " yang
dikemukakan Shaban memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Safiqah ? saya
cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional dan genting
sukar sekali membayangkan peserta Safiqah berfikir seperti Shaban.!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar