Sabtu, 11 Desember 2010

SEPUCUK SURAT DARI SEORANG LELAKI

Kamu tau kenapa saya suka wanita itu pakai jilbab? jawabannya sederhana karena mata saya susah diajak kompromi. Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata saya ini mulai dari keluar pintu rumah sampai  kembali masuk ke rumah lagi. Dan kamu tau? di kampus, tempat saya  seharian di sana, kemana arah mata memandang selalu saja membuat mata  saya terbelalak. Hanya dua arah yang bisa membuat saya tenang,  mendongak ke atas langit atau menunduk ke tanah.  
Melihat ke depan ada perempuan berlenggok dengan seutas "TANK TOP",  noleh ke kiri pemandangan "Pinggul Terbuka", menghindar ke kanan ada  sajian "Celana Ketat plus You Can See", balik ke belakang dihadang oleh  "Dada Menantang!" Astaghfirullah... kemana lagi mata ini harus  memandang.
Kalau saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang  merangsang itu mah! tapi sayang, saya tidak mau hidup ini dibaluti  dengan nafsu. Saya juga butuh hidup dengan pemandangan yang membuat saya  tenang. Saya ingin melihat wanita bukan sebagai objek pemuas mata.  Tetapi mereka adalah sosok yang anggun, mempesona, kalau dipandang  bikin sejuk di mata. Bukan paras yang membikin mata panas, membuat iman  lekas ditarik oleh pikiran "ngeres" dan hati pun menjadi  keras.
Andai wanita itu mengerti apa yang sedang dipikirkan laki-laki ketika  melihat mereka berpakaian seksi, saya yakin mereka tidak mau tampil  seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang mempunyai niat untuk menarik  laki-laki untuk memakai aset berharga yang mereka punya.
Istilah seksi kalau saya defenisikan berdasar katanya adalah penuh daya  tarik seks. Kalau ada wanita yang dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah berbangga hati dulu. Sebagai seorang manusia yang mempunyai  fitrah dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena penampilan  seksi itu sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan  anda adalah objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda  melakukan lebih seksi, lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa  kesimpulan yang ada dalam benak sang lelaki? yaitu: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias  gampangan.
Mau tidak mau, sengaja ataupun tidak anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan dihormati oleh penampilan anda sendiri yang anda sajikan  pada mata lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda, apa  itu dengan kata-kata yang menyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin  sampai pada perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin  anda menjawabnya "Lelaki" bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang  lelaki di jaman sekarang ini.
Kalu boleh saya ibaratkan, tak ada pembeli kalau tidak ada yang jual.  Simpel saja, orang pasti akan beli kalau ada yang nawarin. Apalagi  barang bagus itu gratis, wah pasti semua orang akan berebut untuk  menerima. Nah apa bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi anda  pada khalayak ramai, saya yakin siapa yang melihat ingin  mencicipinya.
Begitulah seharian tadi saya harus menahan siksaan pada mata ini. Bukan  pada hari ini saja, rata-rata setiap harinya. Saya ingin protes, tapi  mau protes ke mana? Apakah saya harus menikmatinya...?  tapi saya  sungguh takut dengan Dzat yang memberi mata ini. Bagaimana saya nanti mempertanggungjawabkannya? sungguh dilema yang berkepanjangan dalam hidup saya.
Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menahan kemaluannya", yang  demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha  Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman  Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS.  An-Nuur: 30-31)
Jadi tak salah bukan kalau saya sering berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan komputer menyerap sekian juta elektron yang terpancar  dari monitor, saya hanya ingin menahan pandangan mata ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh radiasi monitor, daripada saya tak bisa pertanggungjawabkan nantinya. Jadi tak salah juga bukan? kalau saya  paling malas diajak ke mall, jjs, kafe, dan semacam tempat yang selalu menyajikan keseksian.
Saya yakin, banyak lelaki yang mempunyai dilema seperti saya ini, mungkin ada yang menikmati, tetapi sebagian besar ada yang takut dan bingung harus berbuat apa. Bagi anda para wanita apakah akan selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai kami tidak mampu lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian terpaksa mengambil kesimpulan menikmati pemandangan yang anda tayangkan?
So, berjilbablah..... karena itu sungguh nyaman, tentram, anggun, cantik, mempesona, dan tentunya sejuk di mata.

PERTANYAAN
Sebagian orang mengharamkan semua  bentuk  nyanyian  dengan alasan firman Allah:
"Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." (Luqman: 6)
Selain   firman   Allah  itu,  mereka  juga  beralasan  pada penafsiran  para  sahabat  tentang  ayat  tersebut.  Menurut sahabat,  yang  dimaksud  dengan  "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian. Mereka juga beralasan pada ayat lain:
"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat,  mereka  berpaling daripadanya ..." (Al Qashash:55)
Sedangkan  nyanyian,  menurut  mereka,   termasuk   "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya,   tepatkah  penggunaan  kedua  ayat  tersebut sebagai dalil dalam  masalah  ini?  Dan  bagaimana  pendapat Ustadz  tentang  hukum  mendengarkan  nyanyian?  Kami  mohon Ustadz  berkenan  memberikan  fatwa  kepada  saya   mengenai masalah  yang  pelik  ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,  sehingga memerlukan  hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah  berkenan  memberikan  pahala  yang  setimpal   kepada Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para  fuqaha  kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain. Mereka sepakat mengenai haramnya  nyanyian  yang  mengandung kekejian,   kefasikan,   dan   menyeret   seseorang   kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu  baik  jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan  setiap  perkataan  yang menyimpang  dari  adab  Islam  adalah  haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu  diiringi dengan  nada  dan  irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang  diperbolehkannya  nyanyian  yang  baik pada  acara-acara  gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut  kedatangan  seseorang,  dan  pada  hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.
Namun demikian, mereka berbeda  pendapat  mengenai  nyanyian selain   itu  (pada  kesempatan-kesempatan  lain).  Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua  jenis  nyanyian,  baik dengan   menggunakan   alat   musik   maupun  tidak,  bahkan dianggapnya mustahab.  Sebagian  lagi  tidak  memperbolehkan nyanyian  yang  menggunakan  musik  tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama
sekali,  bahkan  menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).
Dari  berbagai  pendapat  tersebut,  saya  cenderung   untuk berpendapat  bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah  halal  selama  tidak  ada  nash  sahih  yang mengharamkannya.  Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas)  tetapi  tidak sahih,  atau  sahih  tetapi  tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama: "Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian. Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaiman yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi. Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian sahabat  dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan   argumentasi    mereka,    karena    didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
"Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini, maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi. Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur'an  (mushaf)  untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan
olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau
menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan kewajiban kepada  Allah,  yang  demikian  tidak  apa-apa  ia lakukan."
Adapun ayat kedua: "Dan   apabila   mereka   mendengar   perkataan  yang  tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Penggunaan  ayat  ini  sebagai  dalil   untuk   mengharamkan nyanyian  tidaklah  tepat,  karena  makna zhahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa  caci  maki dan  cercaan,  dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam
lanjutan ayat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala. berfirman:
"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi  kami   amal-amal   kami   dan   bagimu   amal-amalmu, kesejahteraan  atas  dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
Ayat   ini   mirip   dengan   firman-Nya   mengenai    sikap 'ibadurrahman  (hamba-hamba  yang  dicintai  Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil  menyapa  mereka,  mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63).
Andaikata  kita  terima  kata  "laghwu"  dalam ayat tersebut meliputi  nyanyian,  maka  ayat  itu  hanya  menyukai   kita berpaling  dari  mendengarkan  dan  memuji  nyanyian,  tidak mewajibkan berpaling darinya. Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu  yang  tidak  ada  faedahnya, sedangkan mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah  tidaklah  haram  selama  tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan   dari   Ibnu   Juraij  bahwa  Rasulullah  Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan  kepada beliau:  "Apakah  yang  demikian  itu  pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?"  Beliau menjawab,  "Tidak  termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
kejelekan, karena ia  seperti  al  laghwu,  sedangkan  Allah berfirman:
"Allah  tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89).
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap  sesuatu  dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan  menyelisihinya  karena  tidak  ada faedahnya  itu  tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan
hukuman pada nyanyian dan tarian?"
Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin  merupakan  riya'.  Dari  Abu  Hurairah   radhiallahu ‘anhu.   bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

"Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di  sini  perkataan  yang  disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   "Mereka berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?.  Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
"...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan ..." (Yunus, 32).
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya." Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata:  "Semua riwayat mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi Salallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada
seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya.  Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan   nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang. Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini  tidak  lupa  saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
1.     Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
Dan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2.    Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan
yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi Salallahu ‘Alaihi Wasallam: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya... (Al Ahzab: 32)
3.    Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Bagi  pendengar  -  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan – hendaklah dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan
nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan  ikut  mempopulerkan  mereka, atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam lembah  yang  haram  -  suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan selamat (terlepas dari dosa).
Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan
kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
"Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.'   Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
"... Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32)
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk   memfitnah atau difitnah, juga  berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak   kemungkinan baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan)
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alasan untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut syariat Islam.
 











PERTANYAAN
Saya seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun dan  mempunyai  beberapa  orang  adik. Setiap hari adik-adik saya pergi ke rumah tetangga untuk menonton televisi.  Tetapi ketika  saya  meminta  kepada  ayah  untuk  membelikan  kami televisi, beliau berkata, "Televisi itu haram." Beliau tidak memperbolehkan saya memasukkan televisi ke rumah.
Saya  mohon Ustadz berkenan memberikan bimbingan kepada kami mengenai masalah ini.

JAWABAN
Saya telah membicarakan hukum televisi ini dalam  pembahasan terdahulu.  Hal  itu saya sampaikan pada kesempatan pertama, dan saya kemukakan kepada para pemirsa melalui acara "Hadyul Islam" di televisi Qathar.
Pada  waktu  itu  saya  katakan  bahwa  televisi sama halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu  hanyalah alat  atau  media  yang  digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga Anda tidak  dapat  mengatakannya  baik  atau buruk,  halal  atau  haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan  materi  acaranya.  Seperti  halnya  pedang,  di  tangan mujahid  ia  adalah  alat untuk berjihad; dan bila di tangan perampok, maka pedang itu  merupakan  alat  untuk  melakukan tindak  kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai  sesuai  tujuan
dan maksudnya.
Televisi   dapat   saja   menjadi   media   pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian pula  halnya  radio,  surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di  sisi  lain,  televisi  dapat  juga  menjadi  alat penghancur  dan  perusak.  Semua  itu  kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dapat  saya  katakan  bahwa   media-media   ini   mengandung kemungkinan  baik,  buruk,  halal,  dan  haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang  muslim  hendaknya  dapat mengendalikan   diri   terhadap   media-media  seperti  ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika  acaranya berisi  kebaikan,  dan  mematikannya  bila berisi keburukan.
Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita   dan   acara-acara   keagamaan,   pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang  dapat  diterima  (tidak mengandung  unsur  keburukan/keharaman).  Sehingga dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah  dari suguhan   hiburan   yang  menyenangkan  hatinya  atau  dapat memperoleh  manfaat  dari  tayangan  acara  pendidikan  yang mereka saksikan.
Namun  begitu,  ada  acara-acara  tertentu  yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak  akhlak.  Karena  didalamnya  mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan  aqidah  Islam
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk. Kemudian  hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan  mengajarkan  bagaimana  cara  seorang  gadis   berdusta terhadap  keluarganya,  bagaimana  upayanya agar dapat bebas keluar rumah,  termasuk  memberi  contoh  bagaimana  membuat rayuan  dengan  kata-kata  yang  manis.  Selain  itu,  jenis film-film  ini  juga  hanya  berisikan  kisah-kisah  bohong, dongeng-dongeng  khayal,  dan  semacamnya.  Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi  sarana  untuk  mengajarkan  moral
yang rendah.
Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi  negatif  seperti  ini,  tidak  sunyi  dari adegan-adegan  yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak  belajar  berdansa adalah  wanita  yang tidak modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk  berdua  dengan  seorang  gadis  sekadar  untuk bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"
Inilah  yang  menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya  melarang memasukkan  media-media  seperti  televisi dan sebagainya ke rumahnya.   Sebab   mereka   berprinsip,   keburukan    yang ditimbulkannya   jauh  lebih  banyak  daripada  kebaikannya, dosanya lebih besar daripada  manfaatnya,  dan  sudah  tentu yang  demikian  adalah  haram.  Lebih-lebih  media  tersebut
memiliki  pengaruh  yang  sangat  besar  terhadap  jiwa  dan pikiran,  yang  cepat  sekali  menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah  yang  harus  disikapi dengan  hati-hati,  ketika  keburukan  dan  kerusakan  sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata,  dan tidak   terhitung  jumlah  manusia  yang  tidak  lagi  dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi  positif dan  manfaatnya  juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah sebagaimana   yang  telah  saya  katakan  sebelumnya,  yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang  buruk  di antara film bentuk tayangan sejenisnya.
Hal   ini   dapat  dihindari  oleh  seseorang  dengan  jalan mematikan radio atau televisinya, menutup  surat  kabar  dan majalah  yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita  dan
tulisan yang buruk.
Manusia  adalah  mufti  bagi  dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan  dirinya  atau  keluarganya, maka langkah yanglebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Inilah  pendapat  saya  mengenai  hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk  dan  Memberi  Taufiq  ke  jalan  yang lurus.
Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta seluruh pihak  yang  berkaitan dengan  media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap
semua  itu.  Maka  hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.








Pernahkah anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.
Mengapa "singa padang pasir" ini sampai menangis?
Umar pernah meminta izin menemui Rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.
Rasul yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?" Umar menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".
Nabi berkata, "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya."
Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara, hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.
Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini. Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu?
Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.
Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur kita....mengapa tak kita buang 15 menit saja untuk sholat tahajud.
"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"
Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.











Siapa yang tak tahu semut? Binatang ini kecil dan suka yang manis-manis. Tapi Allah mengangkat derajat mereka begitu tinggi sampai-sampai Allah menamakan salah satu surat dalam al-Qur'an dengan nama mereka: an-naml (semut).
Ada kisah menarik antara semut dengan Nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Alkisah, ketika Sulaiman dan tentaranya (terdiri dari manusia, jin dan burung) berjalan sampai di suatu lembah, sekumpulan semut khawatir terinjak oleh bala tentara Sulaiman. Berkatalah seekor semut kepada kawannya:
"Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman, dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari".(QS 27: 18)
Nabi Sulaiman yang diberi kemampuan mendengar percakapan semut itu tersenyum dan tertawa karenanya. Tapi berbeda dengan kita yang menjadi sombong ketika orang-orang kecil minggir ketakutan melihat kita, Nabi Sulaiman segera berdo'a:
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh."
Tengoklah kisah di atas dengan teliti. Bahkan seorang Nabi seperti Sulaiman pun mampu mensyukuri ni'mat hanya karena sekumpulan semut. Sekarang tengoklah diri kita, berapa banyak sepatu yang kita punya, berapa banyak pakaian yang tersimpan di lemari, berapa kali sehari kita membuka internet, berapa banyak tabungan kita di Bank, betapa empuknya kursi di ruangan kita, dan masih banyak lagi ni'mat dari Allah disekeliling kita.
Sudahkah kita mampu menjadikan benda-benda tersebut sebagai alat untuk membuat kita bersyukur pada ilahi? Lalu bagaimana caranya mensyukuri ni'mat tersebut?
Gampang saja! Anda memiliki ruang tamu yang luas, undang tetangga anda dan buatlah pengajian di rumah anda seminggu sekali. Anda memiliki mobil, ajaklah rekan sekerja anda yang naik bis kota untuk pulang-pergi ke kantor bersama-sama, anda memiliki gaji yang berlipat ganda, berikan sedikit kelebihan harta anda pada fakir miskin di sekitar lingkungan anda. Anda memiliki waktu luang dan ilmu yang banyak, mengapa tak anda kumpulkan para remaja mesjid di tempat anda untuk anda ajarkan sedikit ilmu pengetahuan. Anda memiliki baju yang banyak, coba teliti mana baju yang benar-benar anda butuhkan,lalu sisanya berikan pada panti asuhan. Dengan cara begini, setiap ni'mat yang kita peroleh mampu kita syukuri.
Ada sebuah do'a yang mirip dengan do'a Nabi Sulaiman di atas, mari kita tengadahkan tangan kita dan berdo'a :
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS 46:15)














"Saya tak bisa bahasa Arab, saya malu memimpin do'a selepas sholat jama'ah bersama isteri saya, apalagi didepan jama'ah yang lain."
Pernahkah pengalaman ini menimpa kita? Insya Allah tidak. Tapi andaikata pernah, janganlah khawatir. Sungguh Allah itu mengerti segala macam bahasa. Jangan malu untuk berdo'a dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kalau anda hapal do'a dalam bahasa arab, saya ucapkan alhamdulillah! Namun kalau anda lebih "sreg" berdo'a dengan bahasa selain bahasa Arab, saya pun berucap alhamdulillah! Yang terpenting adalah kita masih mau berdo'a. Kalimat terakhir ini mengundang pertanyaan, "Mengapa sih kita harus berdo'a?"
Allah adalah Tuhan kita satu-satunya. Allah pun dalam Al-Qur'an mengatakan bahwa "Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" (QS 112:2). Dalam surat al-Fatihah kita pun berseru, "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan). Karena itu, kalau ada orang yang mengaku bahwa Allah itu Tuhannya lalu ia tak mau berdo'a maka pantas kalau kita sebut orang tersebut orang sombong. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu" (QS 40:60).
Betulkah setiap do'a akan dikabulkan oleh Allah? Boleh jadi ada diantara kita yang telah berdo'a sesuatu namun tak kita rasakan hasil dari do'a tersebut. Pertama, harus disadari bahwa kita ini "hamba" sehingga tak berhak memaksa Allah. Kita yang membutuhkan Allah; bukan sebaliknya.
Kedua, Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Boleh jadi, sebuah do'a yang kita minta bila dikabulkan oleh Allah justru ujung-ujungnya dapat menimbulkan kesulitan dalam hidup kita atau mungkin Allah punya ketentuan lain yang tak kita ketahui. Sebagai contoh, Nabi Nuh berdo'a agar anaknya diselamatkan dari banjir dahsyat, Tuhan tidak mengabulkannya dan bahkan menegur Nabi Nuh sehingga Nabi Nuh pun berdo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakekatnya) dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang rugi." (QS 11: 47) Allah Maha Tahu, maka do'a kita kadang kala bukan tak dikabulkan tapi ditunda waktunya, atau malah diganti dengan yang lebih baik. Wa Allahu A'lam.
Ketiga, sudah seberapa jauh usaha kita untuk "meminta" dan "memelas" pada Allah. Nabi Zakariya sendiri telah puluhan tahun berdo'a namun belum dikabulkan Allah. Tapi berbeda dengan kita yang cenderung tak sabar, Nabi Zakariya berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku." (QS 19:4)
Begitulah sikap kita seharusnya: jangan pernah kecewa dalam berdo'a. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa "Aku ini bagaimana persangkaan hambaKu saja..." Maksudnya, kalau kita dalam berdo'a belum-belum sudah beranggapan bahwa do'a ini tak akan dikabulkan, yah begitulah jadinya. Insya Allah kita selalu berbaik sangka dan tak pernah kecewa dalam berdo'a.
Dalam berdo'a kita diminta untuk berharap-harap cemas (QS 21:90). Artinya, kita berharap do'a kita akan dikabulkan, namun disisi lain kita juga cemas kalau-kalau do'a ini tidak dikabulkan. Gabungan perasaan inilah yang menjadi etika dalam berdo'a. Kita tidak terlalu yakin pasti akan dikabulkan, namun juga tidak putus asa. Etika lainnya adalah kita disuruh berdo'a dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut (QS 7:55). Kalau kita jalani etika berdo'a ini insya Allah hati kita akan tergetar dan seringkali tanpa sadar air mata menggantung di pelopak mata.
Pendek kata, berdo'alah baik dalam keadaan sehat-sakit, suka-duka, kaya-miskin, berdiri-duduk-berbaring, pagi-siang-malam...









Masih hidupkah Khidhr? Entahlah, saya memang mendengar cerita seorang 'alim yang mengaku berjumpa Khidhr. Nama Khidhr memang sudah terlanjur melegenda, meskipun al-Qur'an sendiri tidak pernah menyebut nama Khidhr secara terang-terangan. Al-Qur'an melukiskan Khidhr dengan "...seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS 18:65)
Perhatikan redaksi yang digunakan al-Qur'an. Ternyata, Khidhr atau apapun nama beliau hanyalah satu dari sekian banyak hamba Allah yang telah diberi rahmat dan ilmu. Boleh jadi banyak sekali hamba Allah yang punya kelebihan seperti Khidhr, tetapi Allah tidak beritakan kepada kita atau kita memang tidak mengetahuinya. Tapi itulah Khidhr, sebuah nama yang terlanjur melegenda dan menyimpan misteri yang tak kunjung habis dibicarakan.
Dalam surat al-Kahfi diceritakan bagaimana Nabi Musa ingin berguru dengan Khidhr. Khidhr semula menolak, namun Musa terus mendesak. Perhatikan redaksi al-Qur'an ketika mengutip penolakan Khidhr, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS 18:67-68)
Khidhr menolak Musa bukan dengan argumen bahwa Musa itu bodoh atau malas. Khidhr menolak Musa karena Musa tidak akan bisa bersikap sabar. Soalnya, kata Khidhr, bagaimana kamu bisa sabar pada persoalan yang kamu tidak punya ilmu tentangnya?
Begitulah yang terjadi. Musa selalu memprotes dan menyalah-nyalahkan perbuatan Khidhr yang, dipandang dari sudut pengetahuan Musa, merupakan perbuatan yang keliru.
Sayang, kita jarang mau belajar dari kisah Khidhr dan Musa ini. Seringkali kita sebar kata "sesat", "kafir", "menyimpang", "bid'ah" kepada saudara-saudara kita, yang dipandang dari sudut pengetahuan yang kita miliki, melakukan kesalahan besar.
Kita menjadi emosional, kita menjadi tidak sabar. Pada saat itu, ada baiknya kita ingat kembali kisah Khidhr dan Musa. Kisah Khidhr mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran merupakan lambang tingginya pengetahuan.


Ketika mendengar sebuah berita "miring" tentang saudara kita, apa reaksi kita pertama kali? Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan berita itu, bahkan ada juga yang dengan semangat meneruskannya kemana-mana.
Kita ceritakan aib saudara kita, sambil berbisik, "sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan berita tersebut ke yg lainnya, juga sambil berpesan, "ini rahasia lho!"
Kahlil Gibran dengan baik melukiskan hal ini dalam kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin, jangan salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."
Inilah yang sering terjadi. Saya memiliki seorang rekan muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat mengatakan, "saya dengar dari si A tentang "malam pertamanya" si B." Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A tahu?" Dengan enteng rekan saya menjawab, "ya dari si B sendiri! Bukankah mereka kawan akrab..."
Masya Allah! rupanya bukan saja "rahasia" orang lain yang kita umbar kemana-mana, bahkan "rahasia kamar" pun kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya juga punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.
Saya ngeri mendengar hadis Nabi: "Barang siapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, Allah akan mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."
Fakhr al-Razi dalam tafsirnya menceritakan sebuah riwayat bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan kitab catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. Ketika sampai pada bagian yang berkenaan dengan kejelekan manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh menutupnya. Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk."
Jangan bongkar aib saudara kita, supaya Allah tidak membongkar aib kita.
"Ya Allah tutupilah aib dan segala kekurangan kami di mata penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"



Seorang Raja mengumumkan sayembara:"Barangsiapa yang sanggup berendam di kolam kerajaan sepanjang malam akan dihadiahi pundi-pundi emas." Sayembara ini sepintas terlihat mudah, namun berendam di kolam pada saat musim dingin tentu bukan perkara mudah. Walhasil, tak ada yang berani mencobanya.
Seorang miksin dari pelosok pedesaan, karena tak tahan dengan tangisan kelaparan anaknya, memberanikan diri mengikuti sayembara itu. Pundi-pundi emas membayang di pelupuk matanya. Bayangan itulah yang mendorong dia akhirnya berangkat ke istana. Raja mempersilahkan dia masuk ke kolam istana. Sekejap saja orang miskin ini masuk ke dalamnya, ia langsung menggigil kedinginan. Giginya saling beradu, mukanya mendadak pucat dan tubuhnya perlahan meringkuk.
Tiba-tiba ia melihat nyala api dari salah satu ruang istana. Segera saja ia bayangkan dirinya berada dekat perapian itu; ia bayangkan betapa nikmatnya duduk di ruangan itu. Mendadak rasa dingin di tubuhnya, menjadi hilang. Kekuatan imajinasi membuatnya mampu bertahan. Perlahan bayang-bayang pundi emas kembali melintas. Harapannya kembali tumbuh.
Keesokan harinya, Raja dengan takjub mendapati si miskin masih berada di kolam istana. Si miskin telah memenangkan sayembara itu. Raja penasaran dan bertanya "rahasia" kekuatan si miskin. Dengan mantap si miskin bercerita bahwa ia mampu bertahan karena membayangkan nikmatnya berada di dekat perapian yang ia lihat di sebuah ruangan istana.
Lama sudah waktu berjalan sejak saya baca kisah di atas sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun baru belakangan saya menyadari kiasan dari cerita itu. Imajinasi dan harapan akan kehidupan yang lebih baik telah menjadi semacam stimulus untuk kita bisa bertahan.
Ketika krisis ekonomi menghadang negara kita, sekelompok orang menjadi panik tak karuan. Apa saja dilakukan mereka untuk mempertahankan kenikmatan hidup. Mulai dari menjadi spekulan mata uang, menimbun barang, menjilat penguasa dan meniupkan isu kemana-mana. Norma agama telah dilanggar untuk kepentingan duniawi belaka. Akan tetapi, segelintir orang tetap tenang karena sudah lama badan mereka di "bumi" namun jiwa mereka di "langit".
Kelompok terakhir ini membayangkan bagaimana nikmatnya hidup di "kampung akherat" nanti, sebagaimana yang telah dijanjikan Allah. "Pundi-pundi kasih sayang ilahi" membayang dipelupuk mata mereka.
Bagaikan si miskin yang tubuhnya berada di dasar kolam, namun jiwanya berada di dekat perapian; bayangan "kampung akherat" membuat mereka tenang dan tidak mau melanggar norma agama. Bagaikan kisah si miskin di atas, boleh jadi Raja akan takjub mendapati mereka yang bisa bertahan di tengah krisis ini, tanpa harus menjilat kepada istana (apalagi bila jilatan itu dibumbui sejumput ayat dan hadis)
Ada seorang muslim yang tengah berpuasa, rekan bulenya yang tinggal satu flat berulang kali mengetok pintu kamar hanya untuk memastikan apakah si muslim masih hidup atau tidak. Orang bule itu tak habis pikir bagaimana si muslim bisa bertahan hidup dan tetap beraktifitas tanpa makan-minum selama lebih dari 12 jam. Rindu "kampung akherat" menjadi jawabannya.
Sama dengan herannya seorang rekan mendapati seorang muslimah di tengah musim panas (summer) tetap beraktifitas sambil memakai jilbab. Ketika ada yang bertanya, "apa tidak kepanasan?" Muslimah tersebut menjawab sambil tersenyum, "lebih panas mana dengan api neraka?"
Kenikmatan "kampung akherat" rupanya jauh lebih menarik buat seorang muslim/muslimah.








Selepas shalat jama'ah, saya ditegur oleh seorang rekan, "Mengapa tubuh anda bergoyang lebih dari tiga kali?". Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sambil tak lupa mengatakan bahwa goyangan itu diluar kesadaran saya. Seringkali usaha mencoba konsentrasi dalam shalat mengakibatkan tubuh saya bergoyang tanpa saya sadari. Teman saya terlihat puas dengan jawaban saya.
Di lain waktu selepas shalat jama'ah teman saya tersebut menegur jama'ah yang lain. Ia bertanya, "Kenapa ruku' anda tidak sempurna?" Jama'ah tersebut jadi gelagapan dibuatnya.
Saya jadi mulai berpikir, inikah kerjaan rekan saya tersebut....sibuk mengamati gerakan shalat di kanan-kirinya. Saya khawatir sepanjang shalat ia habiskan untuk mengamati gerakan shalat orang lain dan bersiap untuk menegurnya selepas salam nanti.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa bila hamba Allah diberikan hikmah oleh Allah maka yang pertama kali ditampakkan-Nya adalah kesalahan hamba itu sendiri sehingga hamba itu tak sibuk memikirkan kesalahan orang lain.
Mungkin teman saya itu kelewat semangat sehingga ia sibuk memikirkan kesalahan orang lain daripada memikirkan kesalahan diri sendiri. Maksudnya baik namun sementara orang lain mendapat manfaat dari teguran itu, ia sendiri kehilangan kekhusyu'an ketika shalat. Ibarat lilin yang ingin menerangi kegelapan, lambat laun lilin itu habis terbakar sendiri.
Dalam Surat an-Najm ayat 32 Allah berfirman:
"Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."
Jika hanya Allah yang tahu tentang kadar ketakwaan kita, maka mengapa kita harus terlalu semangat memikirkan kesalahan orang lain. Dakwah itu penting, tetapi yang harus dihindari disaat berdakwah adalah merasa dirinya paling benar, paling suci dan paling takwa, juga hanya sibuk memikirkan kesalahan orang lain tanpa peduli pada kesalahan dan kekurangannya sendiri. Saya berharap kita semua (termasuk teman saya di atas) tidak termasuk golongan terakhir ini, insya Allah!
Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang mneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.
Pertanyaannya: siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana caranya?
Wafatnya Rasul Salallahu ‘Alaihi Wasallam membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di "balairung" safiqah di perkampungan Bani Sa'idah . Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan 'Aus.
Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan. Umar berkata,"Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang "bayi" umat Islam.
Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terle bih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanay bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah...hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Saat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.
Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ). "Kami pemimpin (umara) dan kalian "menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya."
Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam berbicara ditengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imaam shalat bilamana nabi sakit?
Umar dan Abu Ubaidah segera membai'at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa'ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar.
Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai'atnya. Abu Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul. Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (patisipatif-egaliter).
Semuanya? ternyata tidak, dari yang hadir di safiqah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Diantara penduduk madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai'at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai'at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.
Ketika diberitahukan kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu. tentang peristiwa yang telah terjadi di safiqah bani Sa'idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya:
"Apa yang dikatakan kaum Anshar?"
"Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !"
"Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat slaah " tanya Imam Ali lagi.
"Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?"
"Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka."
Kemudian Imam Ali bertanya:
"Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy?"
"Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah 'pohon' Rasulullah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam."
"Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan 'pohonnya' dan menelantarkan buahnya!"
Catatan kaki:
1.  Pemisahan atau tepatnya perbedaan posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik, dalam konteks Islam, tidak berarti pemimpin politik tidak concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak peduli dengan masalah politk. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang mengatakan,"berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan". Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walau tidak sebesar otoritas yang dipunya Nabi. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah bagi umat Islam dan Nabi semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuaaan duniawi, nagara ataupunpemerintahan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Ali Abdur Raziq dalam al Islam wa Usul al Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya, Dr Dhiya' ad-Din ar Rais, al Islam wa al khalifah fi al-'Ashr al-hadist (naqd kitab "al Islam wa ushul al hukm") Kairo, Dar at Taurats 1972, bandingkan dengan DR. Ahmad Syalabi, As-Siyasah fi al Fikr al Islami, Kairo, Hahdhah al Misriyah, 1983, h. 35-38.
2.  Peristiwa Safiqah yang saya ceritakan kembali ini didasarkan pada Al Thabari, tarikh al-umam wa al-muluk, jilid IV, h. 38-41, Munawir Syadzali, op.cit, h. 21-23, Jalaludin Rahmat,[2], op.cit., h. 84-89
3.  Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku di madinah yang selalu bermusuhan sebelum datangnya Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah mendarah daging itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa nabi, sungguhpun demikian figur seorang Muhammad berhasil"meredamkan" mereka. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka lama lagi sepeninggal Muhammad Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
4.  Lihat Al-Mawardi, al-ahkam as-sultaniyah, Mesir, Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1966, h. 6; Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-fikr,t.t, h, 194. Berbeda dengan Mawardi dan pemikir muslim masa klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks Al aimmah min Quraisy secara lahiriah belaka. Sesuai dengan teori Ashabiyah nya. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa itu di atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solideritas yang kaut dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah dibaca: Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraisy--dan tidak musti harus selalu orang Quraisy. Persoalannya, apakah penjelasan Ibn Khaldun ini sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Safiqah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyitir teks itu?
5.  Bai'at sesungguhnya dipergunakan sejak masa nabi. Nabi sringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, yakni berlangsungnya bai'at ar ridwan dan bai'at al-'aqabah. Imam Nasa'i dalam sunannya mengelompokkan bai'at kedalam sepuluh macam (lihat An-Nasa'i, Sunan an-nasa'i bi Syarh as-suyuti, Beirut, Dar al-jil,1989,juz VI. h. 683-684). Intinya, bai'at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai'at ini diteruskan pada masa sepeninggal Nabi tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai'at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai'at lihat Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, An-nizam As-Siyasi fi Al-Islam, Qoum, Anshariyan, 1312 H, h. 69-75; Fathi Osman, "Bay'ah al Imam: Kesepakatan pengangkatan Kepala negara Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed), masalah-masalah teori politik Islam, Bandung, Mizan, 1993, h. 75-116.
6.  Analisa terhadap istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W. Montgomery Watt, Islamic political Thought, terj. Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta, P3M,1988, h. 50-54; bandingkan dengan Bernard Lewis, The Political Languange in Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta, Gramedia, h. 61-71.
7.  Lihat DR. Nurcholis Madjid, " Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas fiqh Siyasy Sunni " dalam Budhy Munawar Rachman, op. cit, h. 592.
8.  Umar berpidato,"... berdirilah kalian dan berbai'atlah kalian(pada Abu bakar) sungguh saya telah berbai'at kepadanya dan Anshar pun demikian" kemudian Ustman berdiri dan bersamanya berdiri Bani Umayah, maka berbai'atlah mereka, Sa'ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin 'Auf berserta sukunya berdiri dan berbai'at pula. Adapun Bani Hasyim berbai'atnya mereka dengan tekanan(paksaan) seperti diceritakan oleh Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, op. cit, h. 155-156.
9.  Seperti diriwayatkan dalam Najhul Balaghah Syarh Muhammad Abduh, terj. Muhammad Al Baqir, Bandung, Mizan,1990, h. 63-64. Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah adalaah dua klan terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Imam Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu Bakar sebagai jalan tengah--orang Quraisy tapi bukan Bani Hsyim atau Bani Umayyah (lihat M.A. Shaban, Sejarah islam Penafsiran Baru, Jakarta, rajawali Press, 1993, h. 24-25). Persoalannya, apakahj "rasionalisasi " yang dikemukakan Shaban memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Safiqah ? saya cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional dan genting sukar sekali membayangkan peserta Safiqah berfikir seperti Shaban.!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 11 Desember 2010

SEPUCUK SURAT DARI SEORANG LELAKI

Kamu tau kenapa saya suka wanita itu pakai jilbab? jawabannya sederhana karena mata saya susah diajak kompromi. Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata saya ini mulai dari keluar pintu rumah sampai  kembali masuk ke rumah lagi. Dan kamu tau? di kampus, tempat saya  seharian di sana, kemana arah mata memandang selalu saja membuat mata  saya terbelalak. Hanya dua arah yang bisa membuat saya tenang,  mendongak ke atas langit atau menunduk ke tanah.  
Melihat ke depan ada perempuan berlenggok dengan seutas "TANK TOP",  noleh ke kiri pemandangan "Pinggul Terbuka", menghindar ke kanan ada  sajian "Celana Ketat plus You Can See", balik ke belakang dihadang oleh  "Dada Menantang!" Astaghfirullah... kemana lagi mata ini harus  memandang.
Kalau saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang  merangsang itu mah! tapi sayang, saya tidak mau hidup ini dibaluti  dengan nafsu. Saya juga butuh hidup dengan pemandangan yang membuat saya  tenang. Saya ingin melihat wanita bukan sebagai objek pemuas mata.  Tetapi mereka adalah sosok yang anggun, mempesona, kalau dipandang  bikin sejuk di mata. Bukan paras yang membikin mata panas, membuat iman  lekas ditarik oleh pikiran "ngeres" dan hati pun menjadi  keras.
Andai wanita itu mengerti apa yang sedang dipikirkan laki-laki ketika  melihat mereka berpakaian seksi, saya yakin mereka tidak mau tampil  seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang mempunyai niat untuk menarik  laki-laki untuk memakai aset berharga yang mereka punya.
Istilah seksi kalau saya defenisikan berdasar katanya adalah penuh daya  tarik seks. Kalau ada wanita yang dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah berbangga hati dulu. Sebagai seorang manusia yang mempunyai  fitrah dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena penampilan  seksi itu sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan  anda adalah objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda  melakukan lebih seksi, lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa  kesimpulan yang ada dalam benak sang lelaki? yaitu: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias  gampangan.
Mau tidak mau, sengaja ataupun tidak anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan dihormati oleh penampilan anda sendiri yang anda sajikan  pada mata lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda, apa  itu dengan kata-kata yang menyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin  sampai pada perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin  anda menjawabnya "Lelaki" bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang  lelaki di jaman sekarang ini.
Kalu boleh saya ibaratkan, tak ada pembeli kalau tidak ada yang jual.  Simpel saja, orang pasti akan beli kalau ada yang nawarin. Apalagi  barang bagus itu gratis, wah pasti semua orang akan berebut untuk  menerima. Nah apa bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi anda  pada khalayak ramai, saya yakin siapa yang melihat ingin  mencicipinya.
Begitulah seharian tadi saya harus menahan siksaan pada mata ini. Bukan  pada hari ini saja, rata-rata setiap harinya. Saya ingin protes, tapi  mau protes ke mana? Apakah saya harus menikmatinya...?  tapi saya  sungguh takut dengan Dzat yang memberi mata ini. Bagaimana saya nanti mempertanggungjawabkannya? sungguh dilema yang berkepanjangan dalam hidup saya.
Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menahan kemaluannya", yang  demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha  Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman  Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS.  An-Nuur: 30-31)
Jadi tak salah bukan kalau saya sering berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan komputer menyerap sekian juta elektron yang terpancar  dari monitor, saya hanya ingin menahan pandangan mata ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh radiasi monitor, daripada saya tak bisa pertanggungjawabkan nantinya. Jadi tak salah juga bukan? kalau saya  paling malas diajak ke mall, jjs, kafe, dan semacam tempat yang selalu menyajikan keseksian.
Saya yakin, banyak lelaki yang mempunyai dilema seperti saya ini, mungkin ada yang menikmati, tetapi sebagian besar ada yang takut dan bingung harus berbuat apa. Bagi anda para wanita apakah akan selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai kami tidak mampu lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian terpaksa mengambil kesimpulan menikmati pemandangan yang anda tayangkan?
So, berjilbablah..... karena itu sungguh nyaman, tentram, anggun, cantik, mempesona, dan tentunya sejuk di mata.

PERTANYAAN
Sebagian orang mengharamkan semua  bentuk  nyanyian  dengan alasan firman Allah:
"Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." (Luqman: 6)
Selain   firman   Allah  itu,  mereka  juga  beralasan  pada penafsiran  para  sahabat  tentang  ayat  tersebut.  Menurut sahabat,  yang  dimaksud  dengan  "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian. Mereka juga beralasan pada ayat lain:
"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat,  mereka  berpaling daripadanya ..." (Al Qashash:55)
Sedangkan  nyanyian,  menurut  mereka,   termasuk   "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya,   tepatkah  penggunaan  kedua  ayat  tersebut sebagai dalil dalam  masalah  ini?  Dan  bagaimana  pendapat Ustadz  tentang  hukum  mendengarkan  nyanyian?  Kami  mohon Ustadz  berkenan  memberikan  fatwa  kepada  saya   mengenai masalah  yang  pelik  ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,  sehingga memerlukan  hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah  berkenan  memberikan  pahala  yang  setimpal   kepada Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para  fuqaha  kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain. Mereka sepakat mengenai haramnya  nyanyian  yang  mengandung kekejian,   kefasikan,   dan   menyeret   seseorang   kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu  baik  jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan  setiap  perkataan  yang menyimpang  dari  adab  Islam  adalah  haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu  diiringi dengan  nada  dan  irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang  diperbolehkannya  nyanyian  yang  baik pada  acara-acara  gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut  kedatangan  seseorang,  dan  pada  hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.
Namun demikian, mereka berbeda  pendapat  mengenai  nyanyian selain   itu  (pada  kesempatan-kesempatan  lain).  Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua  jenis  nyanyian,  baik dengan   menggunakan   alat   musik   maupun  tidak,  bahkan dianggapnya mustahab.  Sebagian  lagi  tidak  memperbolehkan nyanyian  yang  menggunakan  musik  tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama
sekali,  bahkan  menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).
Dari  berbagai  pendapat  tersebut,  saya  cenderung   untuk berpendapat  bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah  halal  selama  tidak  ada  nash  sahih  yang mengharamkannya.  Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas)  tetapi  tidak sahih,  atau  sahih  tetapi  tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama: "Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian. Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaiman yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi. Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian sahabat  dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan   argumentasi    mereka,    karena    didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
"Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini, maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi. Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur'an  (mushaf)  untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan
olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau
menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan kewajiban kepada  Allah,  yang  demikian  tidak  apa-apa  ia lakukan."
Adapun ayat kedua: "Dan   apabila   mereka   mendengar   perkataan  yang  tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Penggunaan  ayat  ini  sebagai  dalil   untuk   mengharamkan nyanyian  tidaklah  tepat,  karena  makna zhahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa  caci  maki dan  cercaan,  dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam
lanjutan ayat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala. berfirman:
"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi  kami   amal-amal   kami   dan   bagimu   amal-amalmu, kesejahteraan  atas  dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
Ayat   ini   mirip   dengan   firman-Nya   mengenai    sikap 'ibadurrahman  (hamba-hamba  yang  dicintai  Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil  menyapa  mereka,  mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63).
Andaikata  kita  terima  kata  "laghwu"  dalam ayat tersebut meliputi  nyanyian,  maka  ayat  itu  hanya  menyukai   kita berpaling  dari  mendengarkan  dan  memuji  nyanyian,  tidak mewajibkan berpaling darinya. Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu  yang  tidak  ada  faedahnya, sedangkan mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah  tidaklah  haram  selama  tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan   dari   Ibnu   Juraij  bahwa  Rasulullah  Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan  kepada beliau:  "Apakah  yang  demikian  itu  pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?"  Beliau menjawab,  "Tidak  termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
kejelekan, karena ia  seperti  al  laghwu,  sedangkan  Allah berfirman:
"Allah  tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89).
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap  sesuatu  dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan  menyelisihinya  karena  tidak  ada faedahnya  itu  tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan
hukuman pada nyanyian dan tarian?"
Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin  merupakan  riya'.  Dari  Abu  Hurairah   radhiallahu ‘anhu.   bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

"Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di  sini  perkataan  yang  disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   "Mereka berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?.  Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
"...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan ..." (Yunus, 32).
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya." Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata:  "Semua riwayat mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi Salallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada
seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya.  Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan   nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang. Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini  tidak  lupa  saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
1.     Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
Dan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2.    Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan
yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi Salallahu ‘Alaihi Wasallam: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya... (Al Ahzab: 32)
3.    Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Bagi  pendengar  -  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan – hendaklah dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan
nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan  ikut  mempopulerkan  mereka, atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam lembah  yang  haram  -  suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan selamat (terlepas dari dosa).
Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan
kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
"Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.'   Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
"... Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32)
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk   memfitnah atau difitnah, juga  berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak   kemungkinan baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan)
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alasan untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut syariat Islam.
 











PERTANYAAN
Saya seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun dan  mempunyai  beberapa  orang  adik. Setiap hari adik-adik saya pergi ke rumah tetangga untuk menonton televisi.  Tetapi ketika  saya  meminta  kepada  ayah  untuk  membelikan  kami televisi, beliau berkata, "Televisi itu haram." Beliau tidak memperbolehkan saya memasukkan televisi ke rumah.
Saya  mohon Ustadz berkenan memberikan bimbingan kepada kami mengenai masalah ini.

JAWABAN
Saya telah membicarakan hukum televisi ini dalam  pembahasan terdahulu.  Hal  itu saya sampaikan pada kesempatan pertama, dan saya kemukakan kepada para pemirsa melalui acara "Hadyul Islam" di televisi Qathar.
Pada  waktu  itu  saya  katakan  bahwa  televisi sama halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu  hanyalah alat  atau  media  yang  digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga Anda tidak  dapat  mengatakannya  baik  atau buruk,  halal  atau  haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan  materi  acaranya.  Seperti  halnya  pedang,  di  tangan mujahid  ia  adalah  alat untuk berjihad; dan bila di tangan perampok, maka pedang itu  merupakan  alat  untuk  melakukan tindak  kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai  sesuai  tujuan
dan maksudnya.
Televisi   dapat   saja   menjadi   media   pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian pula  halnya  radio,  surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di  sisi  lain,  televisi  dapat  juga  menjadi  alat penghancur  dan  perusak.  Semua  itu  kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dapat  saya  katakan  bahwa   media-media   ini   mengandung kemungkinan  baik,  buruk,  halal,  dan  haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang  muslim  hendaknya  dapat mengendalikan   diri   terhadap   media-media  seperti  ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika  acaranya berisi  kebaikan,  dan  mematikannya  bila berisi keburukan.
Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita   dan   acara-acara   keagamaan,   pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang  dapat  diterima  (tidak mengandung  unsur  keburukan/keharaman).  Sehingga dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah  dari suguhan   hiburan   yang  menyenangkan  hatinya  atau  dapat memperoleh  manfaat  dari  tayangan  acara  pendidikan  yang mereka saksikan.
Namun  begitu,  ada  acara-acara  tertentu  yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak  akhlak.  Karena  didalamnya  mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan  aqidah  Islam
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk. Kemudian  hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan  mengajarkan  bagaimana  cara  seorang  gadis   berdusta terhadap  keluarganya,  bagaimana  upayanya agar dapat bebas keluar rumah,  termasuk  memberi  contoh  bagaimana  membuat rayuan  dengan  kata-kata  yang  manis.  Selain  itu,  jenis film-film  ini  juga  hanya  berisikan  kisah-kisah  bohong, dongeng-dongeng  khayal,  dan  semacamnya.  Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi  sarana  untuk  mengajarkan  moral
yang rendah.
Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi  negatif  seperti  ini,  tidak  sunyi  dari adegan-adegan  yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak  belajar  berdansa adalah  wanita  yang tidak modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk  berdua  dengan  seorang  gadis  sekadar  untuk bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"
Inilah  yang  menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya  melarang memasukkan  media-media  seperti  televisi dan sebagainya ke rumahnya.   Sebab   mereka   berprinsip,   keburukan    yang ditimbulkannya   jauh  lebih  banyak  daripada  kebaikannya, dosanya lebih besar daripada  manfaatnya,  dan  sudah  tentu yang  demikian  adalah  haram.  Lebih-lebih  media  tersebut
memiliki  pengaruh  yang  sangat  besar  terhadap  jiwa  dan pikiran,  yang  cepat  sekali  menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah  yang  harus  disikapi dengan  hati-hati,  ketika  keburukan  dan  kerusakan  sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata,  dan tidak   terhitung  jumlah  manusia  yang  tidak  lagi  dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi  positif dan  manfaatnya  juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah sebagaimana   yang  telah  saya  katakan  sebelumnya,  yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang  buruk  di antara film bentuk tayangan sejenisnya.
Hal   ini   dapat  dihindari  oleh  seseorang  dengan  jalan mematikan radio atau televisinya, menutup  surat  kabar  dan majalah  yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita  dan
tulisan yang buruk.
Manusia  adalah  mufti  bagi  dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan  dirinya  atau  keluarganya, maka langkah yanglebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Inilah  pendapat  saya  mengenai  hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk  dan  Memberi  Taufiq  ke  jalan  yang lurus.
Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta seluruh pihak  yang  berkaitan dengan  media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap
semua  itu.  Maka  hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.








Pernahkah anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.
Mengapa "singa padang pasir" ini sampai menangis?
Umar pernah meminta izin menemui Rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.
Rasul yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?" Umar menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".
Nabi berkata, "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya."
Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara, hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.
Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini. Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu?
Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.
Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur kita....mengapa tak kita buang 15 menit saja untuk sholat tahajud.
"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"
Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.











Siapa yang tak tahu semut? Binatang ini kecil dan suka yang manis-manis. Tapi Allah mengangkat derajat mereka begitu tinggi sampai-sampai Allah menamakan salah satu surat dalam al-Qur'an dengan nama mereka: an-naml (semut).
Ada kisah menarik antara semut dengan Nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Alkisah, ketika Sulaiman dan tentaranya (terdiri dari manusia, jin dan burung) berjalan sampai di suatu lembah, sekumpulan semut khawatir terinjak oleh bala tentara Sulaiman. Berkatalah seekor semut kepada kawannya:
"Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman, dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari".(QS 27: 18)
Nabi Sulaiman yang diberi kemampuan mendengar percakapan semut itu tersenyum dan tertawa karenanya. Tapi berbeda dengan kita yang menjadi sombong ketika orang-orang kecil minggir ketakutan melihat kita, Nabi Sulaiman segera berdo'a:
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh."
Tengoklah kisah di atas dengan teliti. Bahkan seorang Nabi seperti Sulaiman pun mampu mensyukuri ni'mat hanya karena sekumpulan semut. Sekarang tengoklah diri kita, berapa banyak sepatu yang kita punya, berapa banyak pakaian yang tersimpan di lemari, berapa kali sehari kita membuka internet, berapa banyak tabungan kita di Bank, betapa empuknya kursi di ruangan kita, dan masih banyak lagi ni'mat dari Allah disekeliling kita.
Sudahkah kita mampu menjadikan benda-benda tersebut sebagai alat untuk membuat kita bersyukur pada ilahi? Lalu bagaimana caranya mensyukuri ni'mat tersebut?
Gampang saja! Anda memiliki ruang tamu yang luas, undang tetangga anda dan buatlah pengajian di rumah anda seminggu sekali. Anda memiliki mobil, ajaklah rekan sekerja anda yang naik bis kota untuk pulang-pergi ke kantor bersama-sama, anda memiliki gaji yang berlipat ganda, berikan sedikit kelebihan harta anda pada fakir miskin di sekitar lingkungan anda. Anda memiliki waktu luang dan ilmu yang banyak, mengapa tak anda kumpulkan para remaja mesjid di tempat anda untuk anda ajarkan sedikit ilmu pengetahuan. Anda memiliki baju yang banyak, coba teliti mana baju yang benar-benar anda butuhkan,lalu sisanya berikan pada panti asuhan. Dengan cara begini, setiap ni'mat yang kita peroleh mampu kita syukuri.
Ada sebuah do'a yang mirip dengan do'a Nabi Sulaiman di atas, mari kita tengadahkan tangan kita dan berdo'a :
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS 46:15)














"Saya tak bisa bahasa Arab, saya malu memimpin do'a selepas sholat jama'ah bersama isteri saya, apalagi didepan jama'ah yang lain."
Pernahkah pengalaman ini menimpa kita? Insya Allah tidak. Tapi andaikata pernah, janganlah khawatir. Sungguh Allah itu mengerti segala macam bahasa. Jangan malu untuk berdo'a dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kalau anda hapal do'a dalam bahasa arab, saya ucapkan alhamdulillah! Namun kalau anda lebih "sreg" berdo'a dengan bahasa selain bahasa Arab, saya pun berucap alhamdulillah! Yang terpenting adalah kita masih mau berdo'a. Kalimat terakhir ini mengundang pertanyaan, "Mengapa sih kita harus berdo'a?"
Allah adalah Tuhan kita satu-satunya. Allah pun dalam Al-Qur'an mengatakan bahwa "Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" (QS 112:2). Dalam surat al-Fatihah kita pun berseru, "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan). Karena itu, kalau ada orang yang mengaku bahwa Allah itu Tuhannya lalu ia tak mau berdo'a maka pantas kalau kita sebut orang tersebut orang sombong. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu" (QS 40:60).
Betulkah setiap do'a akan dikabulkan oleh Allah? Boleh jadi ada diantara kita yang telah berdo'a sesuatu namun tak kita rasakan hasil dari do'a tersebut. Pertama, harus disadari bahwa kita ini "hamba" sehingga tak berhak memaksa Allah. Kita yang membutuhkan Allah; bukan sebaliknya.
Kedua, Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Boleh jadi, sebuah do'a yang kita minta bila dikabulkan oleh Allah justru ujung-ujungnya dapat menimbulkan kesulitan dalam hidup kita atau mungkin Allah punya ketentuan lain yang tak kita ketahui. Sebagai contoh, Nabi Nuh berdo'a agar anaknya diselamatkan dari banjir dahsyat, Tuhan tidak mengabulkannya dan bahkan menegur Nabi Nuh sehingga Nabi Nuh pun berdo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakekatnya) dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang rugi." (QS 11: 47) Allah Maha Tahu, maka do'a kita kadang kala bukan tak dikabulkan tapi ditunda waktunya, atau malah diganti dengan yang lebih baik. Wa Allahu A'lam.
Ketiga, sudah seberapa jauh usaha kita untuk "meminta" dan "memelas" pada Allah. Nabi Zakariya sendiri telah puluhan tahun berdo'a namun belum dikabulkan Allah. Tapi berbeda dengan kita yang cenderung tak sabar, Nabi Zakariya berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku." (QS 19:4)
Begitulah sikap kita seharusnya: jangan pernah kecewa dalam berdo'a. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa "Aku ini bagaimana persangkaan hambaKu saja..." Maksudnya, kalau kita dalam berdo'a belum-belum sudah beranggapan bahwa do'a ini tak akan dikabulkan, yah begitulah jadinya. Insya Allah kita selalu berbaik sangka dan tak pernah kecewa dalam berdo'a.
Dalam berdo'a kita diminta untuk berharap-harap cemas (QS 21:90). Artinya, kita berharap do'a kita akan dikabulkan, namun disisi lain kita juga cemas kalau-kalau do'a ini tidak dikabulkan. Gabungan perasaan inilah yang menjadi etika dalam berdo'a. Kita tidak terlalu yakin pasti akan dikabulkan, namun juga tidak putus asa. Etika lainnya adalah kita disuruh berdo'a dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut (QS 7:55). Kalau kita jalani etika berdo'a ini insya Allah hati kita akan tergetar dan seringkali tanpa sadar air mata menggantung di pelopak mata.
Pendek kata, berdo'alah baik dalam keadaan sehat-sakit, suka-duka, kaya-miskin, berdiri-duduk-berbaring, pagi-siang-malam...









Masih hidupkah Khidhr? Entahlah, saya memang mendengar cerita seorang 'alim yang mengaku berjumpa Khidhr. Nama Khidhr memang sudah terlanjur melegenda, meskipun al-Qur'an sendiri tidak pernah menyebut nama Khidhr secara terang-terangan. Al-Qur'an melukiskan Khidhr dengan "...seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS 18:65)
Perhatikan redaksi yang digunakan al-Qur'an. Ternyata, Khidhr atau apapun nama beliau hanyalah satu dari sekian banyak hamba Allah yang telah diberi rahmat dan ilmu. Boleh jadi banyak sekali hamba Allah yang punya kelebihan seperti Khidhr, tetapi Allah tidak beritakan kepada kita atau kita memang tidak mengetahuinya. Tapi itulah Khidhr, sebuah nama yang terlanjur melegenda dan menyimpan misteri yang tak kunjung habis dibicarakan.
Dalam surat al-Kahfi diceritakan bagaimana Nabi Musa ingin berguru dengan Khidhr. Khidhr semula menolak, namun Musa terus mendesak. Perhatikan redaksi al-Qur'an ketika mengutip penolakan Khidhr, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS 18:67-68)
Khidhr menolak Musa bukan dengan argumen bahwa Musa itu bodoh atau malas. Khidhr menolak Musa karena Musa tidak akan bisa bersikap sabar. Soalnya, kata Khidhr, bagaimana kamu bisa sabar pada persoalan yang kamu tidak punya ilmu tentangnya?
Begitulah yang terjadi. Musa selalu memprotes dan menyalah-nyalahkan perbuatan Khidhr yang, dipandang dari sudut pengetahuan Musa, merupakan perbuatan yang keliru.
Sayang, kita jarang mau belajar dari kisah Khidhr dan Musa ini. Seringkali kita sebar kata "sesat", "kafir", "menyimpang", "bid'ah" kepada saudara-saudara kita, yang dipandang dari sudut pengetahuan yang kita miliki, melakukan kesalahan besar.
Kita menjadi emosional, kita menjadi tidak sabar. Pada saat itu, ada baiknya kita ingat kembali kisah Khidhr dan Musa. Kisah Khidhr mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran merupakan lambang tingginya pengetahuan.


Ketika mendengar sebuah berita "miring" tentang saudara kita, apa reaksi kita pertama kali? Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan berita itu, bahkan ada juga yang dengan semangat meneruskannya kemana-mana.
Kita ceritakan aib saudara kita, sambil berbisik, "sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan berita tersebut ke yg lainnya, juga sambil berpesan, "ini rahasia lho!"
Kahlil Gibran dengan baik melukiskan hal ini dalam kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin, jangan salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."
Inilah yang sering terjadi. Saya memiliki seorang rekan muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat mengatakan, "saya dengar dari si A tentang "malam pertamanya" si B." Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A tahu?" Dengan enteng rekan saya menjawab, "ya dari si B sendiri! Bukankah mereka kawan akrab..."
Masya Allah! rupanya bukan saja "rahasia" orang lain yang kita umbar kemana-mana, bahkan "rahasia kamar" pun kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya juga punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.
Saya ngeri mendengar hadis Nabi: "Barang siapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, Allah akan mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."
Fakhr al-Razi dalam tafsirnya menceritakan sebuah riwayat bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan kitab catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. Ketika sampai pada bagian yang berkenaan dengan kejelekan manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh menutupnya. Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk."
Jangan bongkar aib saudara kita, supaya Allah tidak membongkar aib kita.
"Ya Allah tutupilah aib dan segala kekurangan kami di mata penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"



Seorang Raja mengumumkan sayembara:"Barangsiapa yang sanggup berendam di kolam kerajaan sepanjang malam akan dihadiahi pundi-pundi emas." Sayembara ini sepintas terlihat mudah, namun berendam di kolam pada saat musim dingin tentu bukan perkara mudah. Walhasil, tak ada yang berani mencobanya.
Seorang miksin dari pelosok pedesaan, karena tak tahan dengan tangisan kelaparan anaknya, memberanikan diri mengikuti sayembara itu. Pundi-pundi emas membayang di pelupuk matanya. Bayangan itulah yang mendorong dia akhirnya berangkat ke istana. Raja mempersilahkan dia masuk ke kolam istana. Sekejap saja orang miskin ini masuk ke dalamnya, ia langsung menggigil kedinginan. Giginya saling beradu, mukanya mendadak pucat dan tubuhnya perlahan meringkuk.
Tiba-tiba ia melihat nyala api dari salah satu ruang istana. Segera saja ia bayangkan dirinya berada dekat perapian itu; ia bayangkan betapa nikmatnya duduk di ruangan itu. Mendadak rasa dingin di tubuhnya, menjadi hilang. Kekuatan imajinasi membuatnya mampu bertahan. Perlahan bayang-bayang pundi emas kembali melintas. Harapannya kembali tumbuh.
Keesokan harinya, Raja dengan takjub mendapati si miskin masih berada di kolam istana. Si miskin telah memenangkan sayembara itu. Raja penasaran dan bertanya "rahasia" kekuatan si miskin. Dengan mantap si miskin bercerita bahwa ia mampu bertahan karena membayangkan nikmatnya berada di dekat perapian yang ia lihat di sebuah ruangan istana.
Lama sudah waktu berjalan sejak saya baca kisah di atas sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun baru belakangan saya menyadari kiasan dari cerita itu. Imajinasi dan harapan akan kehidupan yang lebih baik telah menjadi semacam stimulus untuk kita bisa bertahan.
Ketika krisis ekonomi menghadang negara kita, sekelompok orang menjadi panik tak karuan. Apa saja dilakukan mereka untuk mempertahankan kenikmatan hidup. Mulai dari menjadi spekulan mata uang, menimbun barang, menjilat penguasa dan meniupkan isu kemana-mana. Norma agama telah dilanggar untuk kepentingan duniawi belaka. Akan tetapi, segelintir orang tetap tenang karena sudah lama badan mereka di "bumi" namun jiwa mereka di "langit".
Kelompok terakhir ini membayangkan bagaimana nikmatnya hidup di "kampung akherat" nanti, sebagaimana yang telah dijanjikan Allah. "Pundi-pundi kasih sayang ilahi" membayang dipelupuk mata mereka.
Bagaikan si miskin yang tubuhnya berada di dasar kolam, namun jiwanya berada di dekat perapian; bayangan "kampung akherat" membuat mereka tenang dan tidak mau melanggar norma agama. Bagaikan kisah si miskin di atas, boleh jadi Raja akan takjub mendapati mereka yang bisa bertahan di tengah krisis ini, tanpa harus menjilat kepada istana (apalagi bila jilatan itu dibumbui sejumput ayat dan hadis)
Ada seorang muslim yang tengah berpuasa, rekan bulenya yang tinggal satu flat berulang kali mengetok pintu kamar hanya untuk memastikan apakah si muslim masih hidup atau tidak. Orang bule itu tak habis pikir bagaimana si muslim bisa bertahan hidup dan tetap beraktifitas tanpa makan-minum selama lebih dari 12 jam. Rindu "kampung akherat" menjadi jawabannya.
Sama dengan herannya seorang rekan mendapati seorang muslimah di tengah musim panas (summer) tetap beraktifitas sambil memakai jilbab. Ketika ada yang bertanya, "apa tidak kepanasan?" Muslimah tersebut menjawab sambil tersenyum, "lebih panas mana dengan api neraka?"
Kenikmatan "kampung akherat" rupanya jauh lebih menarik buat seorang muslim/muslimah.








Selepas shalat jama'ah, saya ditegur oleh seorang rekan, "Mengapa tubuh anda bergoyang lebih dari tiga kali?". Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sambil tak lupa mengatakan bahwa goyangan itu diluar kesadaran saya. Seringkali usaha mencoba konsentrasi dalam shalat mengakibatkan tubuh saya bergoyang tanpa saya sadari. Teman saya terlihat puas dengan jawaban saya.
Di lain waktu selepas shalat jama'ah teman saya tersebut menegur jama'ah yang lain. Ia bertanya, "Kenapa ruku' anda tidak sempurna?" Jama'ah tersebut jadi gelagapan dibuatnya.
Saya jadi mulai berpikir, inikah kerjaan rekan saya tersebut....sibuk mengamati gerakan shalat di kanan-kirinya. Saya khawatir sepanjang shalat ia habiskan untuk mengamati gerakan shalat orang lain dan bersiap untuk menegurnya selepas salam nanti.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa bila hamba Allah diberikan hikmah oleh Allah maka yang pertama kali ditampakkan-Nya adalah kesalahan hamba itu sendiri sehingga hamba itu tak sibuk memikirkan kesalahan orang lain.
Mungkin teman saya itu kelewat semangat sehingga ia sibuk memikirkan kesalahan orang lain daripada memikirkan kesalahan diri sendiri. Maksudnya baik namun sementara orang lain mendapat manfaat dari teguran itu, ia sendiri kehilangan kekhusyu'an ketika shalat. Ibarat lilin yang ingin menerangi kegelapan, lambat laun lilin itu habis terbakar sendiri.
Dalam Surat an-Najm ayat 32 Allah berfirman:
"Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."
Jika hanya Allah yang tahu tentang kadar ketakwaan kita, maka mengapa kita harus terlalu semangat memikirkan kesalahan orang lain. Dakwah itu penting, tetapi yang harus dihindari disaat berdakwah adalah merasa dirinya paling benar, paling suci dan paling takwa, juga hanya sibuk memikirkan kesalahan orang lain tanpa peduli pada kesalahan dan kekurangannya sendiri. Saya berharap kita semua (termasuk teman saya di atas) tidak termasuk golongan terakhir ini, insya Allah!
Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang mneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.
Pertanyaannya: siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana caranya?
Wafatnya Rasul Salallahu ‘Alaihi Wasallam membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di "balairung" safiqah di perkampungan Bani Sa'idah . Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan 'Aus.
Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan. Umar berkata,"Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang "bayi" umat Islam.
Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terle bih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanay bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah...hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Saat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.
Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ). "Kami pemimpin (umara) dan kalian "menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya."
Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam berbicara ditengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imaam shalat bilamana nabi sakit?
Umar dan Abu Ubaidah segera membai'at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa'ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar.
Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai'atnya. Abu Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul. Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (patisipatif-egaliter).
Semuanya? ternyata tidak, dari yang hadir di safiqah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Diantara penduduk madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai'at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai'at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.
Ketika diberitahukan kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu. tentang peristiwa yang telah terjadi di safiqah bani Sa'idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya:
"Apa yang dikatakan kaum Anshar?"
"Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !"
"Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat slaah " tanya Imam Ali lagi.
"Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?"
"Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka."
Kemudian Imam Ali bertanya:
"Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy?"
"Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah 'pohon' Rasulullah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam."
"Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan 'pohonnya' dan menelantarkan buahnya!"
Catatan kaki:
1.  Pemisahan atau tepatnya perbedaan posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik, dalam konteks Islam, tidak berarti pemimpin politik tidak concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak peduli dengan masalah politk. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang mengatakan,"berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan". Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walau tidak sebesar otoritas yang dipunya Nabi. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah bagi umat Islam dan Nabi semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuaaan duniawi, nagara ataupunpemerintahan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Ali Abdur Raziq dalam al Islam wa Usul al Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya, Dr Dhiya' ad-Din ar Rais, al Islam wa al khalifah fi al-'Ashr al-hadist (naqd kitab "al Islam wa ushul al hukm") Kairo, Dar at Taurats 1972, bandingkan dengan DR. Ahmad Syalabi, As-Siyasah fi al Fikr al Islami, Kairo, Hahdhah al Misriyah, 1983, h. 35-38.
2.  Peristiwa Safiqah yang saya ceritakan kembali ini didasarkan pada Al Thabari, tarikh al-umam wa al-muluk, jilid IV, h. 38-41, Munawir Syadzali, op.cit, h. 21-23, Jalaludin Rahmat,[2], op.cit., h. 84-89
3.  Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku di madinah yang selalu bermusuhan sebelum datangnya Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah mendarah daging itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa nabi, sungguhpun demikian figur seorang Muhammad berhasil"meredamkan" mereka. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka lama lagi sepeninggal Muhammad Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam.
4.  Lihat Al-Mawardi, al-ahkam as-sultaniyah, Mesir, Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1966, h. 6; Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-fikr,t.t, h, 194. Berbeda dengan Mawardi dan pemikir muslim masa klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks Al aimmah min Quraisy secara lahiriah belaka. Sesuai dengan teori Ashabiyah nya. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa itu di atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solideritas yang kaut dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah dibaca: Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraisy--dan tidak musti harus selalu orang Quraisy. Persoalannya, apakah penjelasan Ibn Khaldun ini sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Safiqah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyitir teks itu?
5.  Bai'at sesungguhnya dipergunakan sejak masa nabi. Nabi sringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, yakni berlangsungnya bai'at ar ridwan dan bai'at al-'aqabah. Imam Nasa'i dalam sunannya mengelompokkan bai'at kedalam sepuluh macam (lihat An-Nasa'i, Sunan an-nasa'i bi Syarh as-suyuti, Beirut, Dar al-jil,1989,juz VI. h. 683-684). Intinya, bai'at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai'at ini diteruskan pada masa sepeninggal Nabi tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai'at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai'at lihat Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, An-nizam As-Siyasi fi Al-Islam, Qoum, Anshariyan, 1312 H, h. 69-75; Fathi Osman, "Bay'ah al Imam: Kesepakatan pengangkatan Kepala negara Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed), masalah-masalah teori politik Islam, Bandung, Mizan, 1993, h. 75-116.
6.  Analisa terhadap istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W. Montgomery Watt, Islamic political Thought, terj. Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta, P3M,1988, h. 50-54; bandingkan dengan Bernard Lewis, The Political Languange in Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta, Gramedia, h. 61-71.
7.  Lihat DR. Nurcholis Madjid, " Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas fiqh Siyasy Sunni " dalam Budhy Munawar Rachman, op. cit, h. 592.
8.  Umar berpidato,"... berdirilah kalian dan berbai'atlah kalian(pada Abu bakar) sungguh saya telah berbai'at kepadanya dan Anshar pun demikian" kemudian Ustman berdiri dan bersamanya berdiri Bani Umayah, maka berbai'atlah mereka, Sa'ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin 'Auf berserta sukunya berdiri dan berbai'at pula. Adapun Bani Hasyim berbai'atnya mereka dengan tekanan(paksaan) seperti diceritakan oleh Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, op. cit, h. 155-156.
9.  Seperti diriwayatkan dalam Najhul Balaghah Syarh Muhammad Abduh, terj. Muhammad Al Baqir, Bandung, Mizan,1990, h. 63-64. Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah adalaah dua klan terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Imam Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu Bakar sebagai jalan tengah--orang Quraisy tapi bukan Bani Hsyim atau Bani Umayyah (lihat M.A. Shaban, Sejarah islam Penafsiran Baru, Jakarta, rajawali Press, 1993, h. 24-25). Persoalannya, apakahj "rasionalisasi " yang dikemukakan Shaban memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Safiqah ? saya cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional dan genting sukar sekali membayangkan peserta Safiqah berfikir seperti Shaban.!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar